(pelitaekspres.com) – TEGAL – Beberapa waktu ini, masyarakat sering mendengar berita penyerangan markas polisi oleh orang tak dikenal yang kemudian diduga sebagai anggota jaringan teroris.

Tentu saja teroris, sebab kecil kemungkinan orang yang memiliki kepentingan pribadi melakukan serangan kepada polisi yang sedang berada dilingkungan tugas atau markas polisi dengan sengaja melakukan penyerangan tanpa sebab.

Hal ini tentu saja terlalu berani dan tidak boleh dibiarkan. Teroris seringkali melakukan serangan petak umpet kepada pihak-pihak yang dianggapnya sebagai musuh. Meski terkadang juga tidak jelas apa motivasinya.

Kali ini aksi teror penyerangan markas polisi terjadi di Mapolsek Wonokromo, Surabaya. Aksi yang dilakukan pelaku, telah mengakibatkan Aiptu Agus Sumarsono mengalami luka sabetan senjata tajam di bagian kepala dan tangan.

Model-model aksi seperti ini jelas merupakan model teror yang biasa dilakukan oleh jaringan teroris yang masih tersisa dan bersembunyi ditengah-tengah masyarakat. Ramai pertanyaan, mengapa harus polisi yang diserang/ dan mengapa menyerangnya harus dengan cara tak terduga?

Mantan terduga teroris menjawab bahwa hal ini disebabkan karena jaringan teroris menganggap bahwa polisi adalah musuh yang paling dekat dan merupakan sasaran empuk karena paling mudah ditemui dimana saja.

Misalnya di jalan raya ada polisi lalu lintas, di pos-pos polisi dan ditempat-tempat keramaian yang memudahkan pelaku teror dalam menyamarkan diri, disamping juga bahwa petugas polisi yang berjaga ditempat ramai biasanya tidak dibekali senjata api melainkan hanya membawa pentungan.

Hal ini menjadikan mereka sasaran empuk serangan teroris karena tidak dapat melakukan serangan balik dan tidak memiliki senjata.

Teroris dapat dikenali karena sifat serangan yang spontan dan gerakannya yang relatif tertutup (under ground). Umumnya juga terafiliasi atau bekerjasama dengan jejaring teroris dunia sehingga ruang lingkup gerakannya memang luas, ini menjadikan kejahatan terorisme sulit dilokalisir dan diantisipasi.

Terorisme dalam perspektif hubungan internasional juga mengindikasikan bahwa aksi terorisme ini muncul karena persoalan pandangan sempit sekelompok orang yang tidak menyukai kesenjangan dalam berbagai aspek sehingga akan selalu berhadapan dengan masalah kekuasaan, persaingan politik dan konflik sosial dan religi.

Selama ada negara yang berdiri sebagai aktor dominan, selama ada kesenjangan sosial, konflik kepentingan maka selama itu pula kecurigaan ideologis dan bentrokan tujuan dari kelompok teroris ini akan terus menyertainya.

Terorisme jelas merupakan tindakan yang mengancam kedaulatan bangsa. Sifat gerakannya yang memberi teror menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan juga  pemerintah.

Teroris yang selalu menyamar dan hidup ditengah-tengah masyarakat sehingga  setiap kali ada penangkapan terduga teroris, masyarakat nyaris tidak menyangka bahwa orang yang ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri sebagai seorang teroris yang membahayakan. Pelaku teror selalu membenci pemerintah dengan anggapan bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan tugasnya.

Pelaku teror juga bersikap tertutup dari hubungan sosial dalam masyarakat ataupun dengan keluarga dan teman-temanya. Teroris juga menggunakan  situs internet untuk membaca dan menyebarkan paham-paham radikalisme.

Serta merasa dirinya adalah orang yang paling benar dibandingkan dengan orang lain yang hidup normal.

Dengan demikian, sulit memang menuntaskan dan menghapus gerakan-gerakan seperti teroris. Namun negara tetap perlu menegakkan kedaulatannya melalui alat-alat negara dan salah satunya adalah kepolisian.

Besar harapan ke depan polisi akan lebih siap terhadap kemungkinan-kemungkinan serangan teror seperti diatas, agar dapat meminimalisir korban dan menekan aksi serangan teror. (Heri Kurniawan, Mahasiswa Magister Hukum UPS Tegal)