(pelitaekspres.com) – TEGAL – Kabut asap sebagai hasil dari aktivitas pembakaran hutan untuk membuka lahan baik lahan pertanian maupun lahan untuk industri merupakan efek samping yang dialami secara berulang oleh masyarakat yang tinggal di pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai dua pulau terbesar di Indonesia yang memiliki wilayah hutan hujan yang sangat luas.
Tahun baru 2019 mendapat kado kabut asap akibat kemarau panjang dan kecerobohan dalam melakukan aktivitas pembakaran menyebabkan bencana kabut asap tidak terelakkan. Bahkan pada tahun 2015 kebakaran hutan di wilayah provinsi Riau mengalami kebakaran yang cukup parah pada 5.595 hektar lahan dan hutan yang ada di wilayah provinsi Riau.
Dampaknya, perekonomian menjadi lumpuh, sekolah diliburkan, bandara ditutup, dan ribuan warga terjangkit penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Lebih dari 600.000 orang menderita ISPA, dan 9 orang anak di Riau serta Sumatera Selatan meninggal dunia.
Bukan hanya pada tahun 2015, pada tahun-tahun selanjutnya pun yaitu tahun 2016, 2017, 2018 data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau menyebutkan bahwa beribu hektar lahan dan hutan telah terbakar. Seperti pada tahun 2016 yaitu seluas 2.348 hektar, tahun 2017 seluas 1.052 hektar, tahun 2018 seluas 1.647,36 hektar pada pertengahan tahun dan seluas 5.776,46 hektar pada akhir tahun 2018.
Kini di awal tahun 2019 seluas 6.464 hektar hutan dan lahan kembali terbakar dan menjadi yang terbesar dalam kurun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mendapat indtruksi langsung dari Presiden Joko Widodo, untuk menangani bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan dengan bersinergi bersama TNI dan Polri.
Presiden menegaskan akan menindak petugas pemadam kebakaran jika kebakaran hutan tidak segera diatasi. Hal ini bukan main-main karena akibat yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan ini, kita menjadi negara pengekspor kabut asap ke wilayah negara tetangga.
Ibarat pepatah malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, begitulah bencana kebakaran hutan yang terus saja berulang. Padahal seyogyanya bila kita telah mengetahui bahwa musim kemarau sangat riskan dengan percikan api, mestinya kita juga dapat mencegah agar aktivitas-aktivitas yang juga rawan menimbulkan kebakaran lahan dan hutan dapatlah kiranya diantisapasi sedemikian rupa agar tak melulu menimbulkan masalah dibelakangnya.
Terlebih bila dampak yang ditimbulkan sudah parah sampai-sampai melumpuhkan aktivitas masyarakat dan menyusahkan negara tetangga, tentu itu merupakan masalah krusial dan serius yang harus segera tertangani dengan cara-cara yang serius pula.
Bencana bukanlah semata-mata kehendak alam melainkan juga akibat perbuatan tangan manusia.
Bila gempa bumi tak dapat diantisipasi karena memang murni merupakan pergerakan atau pergeseran kerak bumi maka lain soal dengan kebakaran hutan yang tentu saja dapat diantisipasi sebelumnya.
Namun demikian peristiwa yang telah terjadi tak akan dapat ditarik kembali, yang dapat dilakukan adalah berupaya untuk menyelesaikan dengan menemukan solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat maupun yang terdampak. Agar musibah cepat terselesaikan dan tidak terulang kembali, adalah harapan kita semua. (Sihar Ambarita, Mahasiswa Magister Hukum UPS Tegal)