(pelitaekspres.com) – BANDARLAMPUNG -Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Lampung, Resmen Kadafi, berharap Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI khususnya di wilayah hukum Provinsi Lampung memasifkan sosialisasi beleid Pedoman Kejaksaan Nomor 1/2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

Resmen Kadafi yang juga advokat, respek. Dia menilai, inisiasi Kejakgung menerbitkan beleid ini guna menjamin dan memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, juga bagian dari upaya pemajuan sistemik materialisasi penyelenggaraan penanganan perkara pidana dalam teritori yurisdiksi penuntutan dengan teguh-kedepankan aras tanggung jawab negara atas pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) warga negaranya.

Menurutnya, penerbitan Pedoman Kejaksaan 1/2021 patut dimaknai sebagai rallying point institusionalisasi reformasi birokrasi Korps Adhyaksa, dan internalisasi revolusi produk hukum positif di wilayah hukum RI selaras dengan masih tersendatnya proses legislasi RUU (Rancangan Undang-Undang) KUHP.

Dalam keterangan pers di Bandarlampung, Minggu 1 Mei 2021, kandidat doktor hukum Universitas Jayabaya Jakarta itu membeber tiga catatan hasil diskusi internal pihaknya.

“Pertama, kami dari BPD Almisbat Lampung mengapresiasi terobosan yuridis Kejakgung menginisiasi Pedoman ini sebagai tuntunan proses penuntutan didalam penanganan tindak pidana perkara melibatkan subyek hukum perempuan dan anak,” ujar dia.

Dia menyatakan, pihaknya sependapat atas tiga pokok pikiran Kejaksaan yang melatari beleid terbit. Pihaknya juga sama sekali tidak melihat beleid hanya sebatas “pelipur lara” atas masih belum kunjung disahkannya RUU KUHP maupun RUU PKS. “Justru kami lebih berkedalaman cermati ini bagian adaptasi sekaligus suplemen positif terhadap proses terobosan progresif serupa, melengkapi pedoman terbitan lembaga penegak hukum lain sebelumnya seperti Mahkamah Agung (MA),” lugas dia.

Tepatnya, eksisting Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum. Selain, terbitnya ini .

Kedua, BPD Almisbat Lampung menilai Kejakgung secara kulminatif serius menaja transformasi struktural menuju praktik baik penuntutan bernapaskan aspek keadilan hukum berbasis sensitivitas gender dan ramah anak menjadi arus utama, dalam upaya pembaruan prosedur hukum institusi bagi proses hukum kasus/perkara yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.

Catatan pihaknya, kata Resmen, Pedoman ini merangkum lebih dari 11 Undang-Undang (UU) yang memiliki ketentuan pemberian perlindungan bagi terjaminnya hak-hak perempuan dan anak dalam perkara pidana.

Hal itu, dia merincikan, sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM.

Berikut, UU Nomor 39/1999 tentang HAM; UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM; UU 23/2002 jo UU 35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan; UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO); UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU 44/2008 tentang Pornografi; UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; UU 23/2014 (Pemerintahan Daerah).

Berikut, Peraturan Pemerintah (PP) 9/2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan Keputusan Presiden (Keppres) 36/1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On The Rights Of The Child).

Selain diperkuat sejumlah peraturan derivatif antara lain yakni Peraturan Menteri Negara (Permenneg) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/PPPA 1/2010 (Standar Pelayanan Minimal Untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan); Permenneg PPPA 5/2010 (Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak); Permenneg PPPA 6/2015 (Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan lain-lain.

Termasuk yang terkait dengan yurisdiksi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), maupun penatalaksanaan pendampingan/bantuan hukum oleh advokat/pengacara sesuai dengan UU 18/2003 tentang Advokat, hingga yang terkait erat baurannya dengan pembaruan revolusioner Kejakgung yang telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dimana, urai Resmen Kadafi, bukan tidak mustahil kedepan turut jadi bagian solusi terhadap dinamika maupun unpredictable due-process by law atas perkara terkait perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, utamanya kasus-kasus projustitia yang cukup menyita atensi publik.

Ketiga, dalam kontekstualitas hukumnya dengan reformasi hukum nasional, yang saling terkait satu-sama lain antar keempat elemen yudikatif: penyidik/penyelidik polisi, jaksa penuntut umum/JPU, hakim pemutus perkara dan advokat/pengacara tersangka/terdakwa/terpidana.

“Jujur, kami masih melihat adanya potensi benturan yurisdiksi antar keempatnya, yang perlu disatukatakan, dibutuhkan penyatuan persepsi, dan sinergi bersama. Ambil misal di tubuh Polri saat ini dengan adanya Presisi, program baru Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang hemat kami dapat didorong pemajuannya termasuk dalam dinamika penegakan hukum atas kasus atau perkara yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum,” papar dia.

Tentunya, Resmen mengingatkan, dengan tidak melupakan pelibatan maha luas dan transparan, unsur elemen masyarakat sipil termasuk media massa.

“Kami berharap agar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan jajaran Korps Adhyaksa di seluruh Indonesia, termasuk pula Kajati Lampung Dr Heffinur dan jajaran di Lampung khususnya, dapat mempertimbangkan dan memperjuangkan sumbangsih pokok-pokok pemikiran kami ini sekuat-kuatnya,” takzim Resmen Kadafi, yang kini juga diamanati jadi Wakil Sekretaris Jenderal BPN Almisbat, mengunci keterangannya.

Seperti diketahui, Kejakgung menerbitkan Pedoman Kejaksaan Nomor 1/2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, yang diselenggarakan bertepatan momen raya Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021.

Pedoman diluncurkan secara virtual lewat webinar bertema sama, di Jakarta. Jaksa Agung Dr ST Burhanuddin tampil berpidato, membersamai pembicara kunci webinar, Stephen Scott dari Kedubes Australia dan Dr Sandra Hamid dari The Asia Foundation.

Dua pejabat Kejakgung, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Dr Fadil Zumhana, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono, tampil menarasumberi, bersama peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Bestha Inatsan Ashila.

Jaksa Agung mengakui jika kini perlakuan diskriminasi terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih kerap terjadi. Seperti, marjinalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan, selain terbatasnya akses perempuan dan anak dalam memperoleh hak-haknya, termasuk memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan hukum.

Sebab itu, kata Jaksa Agung, guna menjamin dan memberi perlindungan pada perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, pihaknya kini meluncurkan pedoman bagi jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia.

Pedoman Kejaksaan, disusun dengan tujuan optimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban dan saksi dalam penanganan perkara pidana.

Mantan JAM Perdata dan Tata Usaha Negara Kejakgung ini mengungkapkan, Pedoman Kejaksaan mengatur adanya mekanisme pertemuan pendahuluan yang akan sangat membantu pihak saksi dan pihak korban berperkara agar siap menghadapi proses persidangan.

Tak cuma dalam proses pemeriksaan, Pedoman juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi.

Jaksa Agung kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 17 Juli 1954 itu mengimbukan pembaharuan selanjutnya didalam Pedoman ini, yakni menghindarkan uraian yang terlalu detail dan vulgar dalam penyusunan surat dakwaan dan perlindungan identitas.

Pedoman diluncurkan sebab dalam menangani perkara terkait perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, kejaksaan seringkali mendapat hambatan.

“Seperti kadangkala jaksa penuntut umum dalam melakukan pembuktian menemui kesulitan dalam membuktikan unsur pidana, disebabkan minimnya saksi dan alat bukti, misal pada kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkali kasus tersebut tak memiliki saksi selain korban sendiri,” beber dia.

Selain itu, dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, seringkali pihak saksi merupakan anak yang masih di bawah umur. Sehingga kemudian, mantan Kajati Sulawesi Selatan ini menandaskan, keterangannya tidak dapat didengar di persidangan.

“Sebab itu, Kejaksaan Agung menyadari perlindungan dan jaminan akses keadilan bagi perempuan dan anak di Indonesia perlu diberi perhatian serius. Agar kualitas hidup perempuan, anak-anak, generasi mendatang dapat jauh lebih baik,” pungkas Jaksa Agung.

Webinar 8 Maret lalu itu diselenggarakan oleh Kejakgung berkolaborasi dengan USAID (Bantuan Amerika), The Asia Foundation, AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership For Justice 2), Australian Goverment, Rutgers WPF Indonesia, IJRS, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI Jakarta.

Terungkap, beleid ini jadi terobosan baru peretas kekosongan hukum implementasi UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, wabil khusus bagi aparat jaksa penuntut dalam penanganan perkara pidana dalam pemberian akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.

Kesempatan itu, disitat dari Hukum Online (8/3/2021), diakses dari Bandarlampung, Minggu (1/5/2021), JAM Pidum Dr Fadil Zumhana mengelaborasi sedikitnya tiga alasan latar penyusunan Pedoman ini.

Pertama, bahwa perkara yang melibatkan perempuan dan anak terus menjadi tren yang meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan perkara melibatkan perempuan dan anak, bukan perkara yang bobotnya ringan. “Dalam praktik, banyak tahapan penanganan perkara yang belum tersentuh, padahal telah tersedia dalam UU. Seperti, UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT,” kata dia.

“Aturannya sudah bagus,” cetusnya, “Tapi tidak dilaksanakan, bagaimana hukum acaranya, dimana dilaksanakan, dan siapa yang melaksanakan perintah perlindungan, itu contoh yang tidak diatur,” ujar bernada menggugat, mantan Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara ini.

Dalam Pedoman Kejaksaan itu mengatur soal bagaimana jaksa berperan aktif dalam menjamin pelaksanaan ketentuan UU yang berlaku, tapi tak ada aturan pelaksanaannya, sehingga belum jelas aturan teknisnya.

“Melalui Pedoman Kejaksaan ini, nantinya memudahkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan hak-haknya sesuai peraturan yang ada.”

Kedua, seringkali aparat penegak hukum dalam penanganan perkara perempuan dan anak tak membuat konstruksi hukum secara tepat. Menurut Fadil, kesalahan konstruksi hukum mengakibatkan perempuan dan anak tidak diposisikan dengan benar sesuai dengan hak-haknya. Atau posisi subjeknya tak dilihat dalam perspektif gejala sosial.

“Padahal, hukum memiliki cara sendiri memposisikan perempuan dan anak berdasarkan orientasi tujuan pemidanaan, asas, dan konsep hukum,” intensinya, pun dia menilai asas konsep hukum seperti itu masih belum dipahami aparat penegak hukum dengan benar.

“Padahal hukum dibuat berbasis nilai moral dan dikaitkan dengan keadilan. Inilah kenapa pedoman ini tak hanya disusun berdasarkan perspektif gender, namun juga berdasarkan perspektif ilmu hukum yang melihat posisi perempuan dan anak lebih pada persamaan di depan hukum,” tegas Fadil, impresif.

Lalu ketiga, mantan Kajati Kalimantan Timur ini melanjutkan, banyaknya terminologi yang berbeda antara satu UU dengan UU lainnya. Yang lantas berdampak kerancuan dalam implementasinya.

“Seperti, penerapan hukumnya menjadi keliru. Jaksa, sebagai bagian dari proses penegakan hukum perlu memiliki standar kehati-hatian tinggi dalam mengkualifisir terminologi dalam menangani perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum,” dia menekankan.

Pedoman ini menyusun tabel irisan masing-masing terminologi yang dikenal dalam sejumlah UU. Seperti terminologi seputar “persetubuhan”, “kekerasan seksual”, atau “pemerkosaan”. Disebutkan Fadil, Pedoman Kejaksaan 1/2021 memberi tafsir sistematis terhadap beberapa terminologi dimaksud.

Termasuk, implikasinya terhadap perbedaan perlindungan dilihat dari statusnya dari masing-masing UU. Menariknya, Pedoman 1/2021 merangkum lebih dari 11 UU yang memiliki ketentuan dalam pemberian perlindungan bagi terjaminnya hak perempuan dan anak.

Seperti UU KUHP; UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT; UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO; UU 44/2008 tentang Pornografi; UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; UU 39/1999 tentang HAM; UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, serta lainnya.

Bak hendak memastikan, Fadil membesut bahwa Pedoman ini menjadi penyemangat dalam menyatukan dan mensimplifikasi penggunaan ketentuan pidana agar supaya penegakan hukum dapat berjalan lebih konsisten, berkepastian hukum, dan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kesulitan praktek di lapangan.

“Kemudian, penegak hukum perlu menangani perkara dengan teliti, dapat mengkonstatir fakta hukum dengan baik. Kemudian, memasukkannya dalam kotak-kotak hukum yang tepat,” mangkus dia.

Di ujung paparan, dia menajuk harapan agar Pedoman itu jadi solusi bagi penegak hukum ketika menemui kesulitan di lapangan. “Dan pada akhirnya memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak di Indonesia,” tutupnya.

Kesempatan yang sama, JAM Pidsus Ali Mukartono menjelaskan, dalam penanganan kasus kerap dijumpai aparatnya menghadapi para pihak berlatar perempuan dan anak. Mulai dari kapasitasnya sebagai saksi, korban, atau bahkan sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam penanganan perkara tindak pidana.

“Termasuk keterlibatan perempuan dan anak dalam tindak pidana khusus (misal) seperti, penerima dan pengguna hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU),” kata Ali, Jampidsus sejak 28 Februari 2020 ini.

Ali melugaskan, bahwa sebenarnya ada beragam instrumen hukum internasional sebagai dasar hukum nasional memberikan jaminan terwujudnya keadilan gender dan penghapusan praktik diskriminasi.

Bagi Ali, dan ulasannya –masih dikutip dari laman Hukum Online ini cukup “seksi”, kunci penanganan perkara pidana khusus yang melibatkan perempuan dan anak adalah mens rea (niat jahat). Tetapi, memang paling banyak ditemui ialah perempuan dan anak menerima hasil korupsi dan TPPU.

“Biasanya paling banyak dialami seorang istri menerima penghasilan suami dan diketahui uang yang diterima (notabene kemudian diketahui) hasil korupsi. Apakah pantas istri bisa didakwa TPPU? Semua tergantung mens rea,” tegas eks Jampidum  (18 November 2019-28 Februari 2020) ini.

Sisi lain, saat berbicara, peneliti IJRS Bestha Inatsan Ashilla menilai Kejaksaan kerap menemui perkara melibatkan perempuan dan anak. Untuk itu, Kejaksaan jadi aktor penting upaya pemberian perlindungan pada saksi atau korban perempuan dan anak.

“Aparat penegak hukum miliki kewenangan dan kemampuan memberikan jaminan keamanan bagi korban dan saksi termasuk jaminan keamanan fisik, psikologis, dan juga ekonomi,” kata Bestha.

Dalam pandangannya, terbitnya Pedoman Kejaksaan itu melengkapi pedoman yang sudah diterbitkan lembaga penegak hukum lain. Seperti Perma 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Peraturan Kapolri 10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA), dan juga Peraturan Kapolri 3/2008 tentang Pembentukan Rumah Pelayanan khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.

“Melalui Pedoman Kejaksaan 1/2021, menjadi pelengkap terhadap aturan yang telah ada. Diharapkan penanganan perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum memperoleh akses keadilan dan hak-haknya,” tutur Bestha.

Sebelumnya secara terpisah, dari kompleks parlemen Senayan Jakarta, anggota Komisi III DPR dan juga Ketua DPW Partai NasDem Lampung, Taufik Basari, turut melayangkan apresiasi senada.

Dikutip dari unggahan media sosialnya pada April lalu, politisi berlatar advokat dan aktivis pejuang HAM dan demokrasi yang karib disapa Kakak Tobas ini menilai, Pedoman tersebut telah memiliki sensitivitas gender dan mampu melengkapi Perma 3/2017.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem MPR RI itu pun berharap, dengan adanya pedoman yang dikeluarkan Kejakgung, pihak kepolisian juga membuat pedoman yang sama. “Demi menjamin keadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu,” ujar dia pula. [red/rls/Antara/Hukum Online/Facebook/Muzzamil]