(pelitaekspress.com)-MALANG-Pembiayaan pendidikan kerap menjadi persoalan. Padahal pemerintah secara tegas menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan. Jaminan ini terutama berlaku untuk pendidikan SD, SMP, dan SMA atau SLTA sederajat. Meski demikian kondisi dilapangan kerap bertolak belakang.
Lantaran mengejar mutu pendidikan lebih baik, sekolah memerlukan biaya lebih. Namun, karena kekurangan anggaran, sekolah terpaksa melakukan pungutan. Pungutan itu lantas menuai polemik. Sebab, masyarakat sudah telanjur berpandangan layanan pendidikan itu diberikan secara gratis. Saat sekolah menarik pungutan, tak sedikit wali murid melayangkan protes bahkan menentang adanya pungutan. Tidak sedikit pula wali murid mengamini apa yang diinginkan sekolah lantaran mereka memiliki uang.
Ada juga yang takut anaknya tak dapat mengikuti ujian gara-gara nomor ujiannya ditahan guru kelas. Persoalan ini acap didapati di sekolah-sekolah negeri. Hal itulah yang kemudian terjadi di SMPN 1 Tumpang Kab Malang. Beberapa perwakilan wali murid meresahkan adanya pungutan yang berkedok sumbangan, kepada siswa kelas 7, 8 dan kelas 9. Nilai pungutan berkedok sumbangan tersebut terdiri dari dana sukarela per siswa Rp. 300 ribu dan dana investasi Rp. 1,5 juta.
Hal ini terungkap pada saat pengambilan raport kenaikan kelas siswa, beberapa wali murid saat ditemui awak media, Sabtu (27/6/2020) mengatakan “anak saya awal masuk ke SMPN 1 Tumpang ini dikenakan uang seragam sebesar Rp. 850 ribu yang terdiri dari seragam biru putih, Pramuka, batik dan olah raga. Istilah SPP bulanan yang disampaikan ke kami para wali murid adalah SPP shodaqoh sebesar Rp. 100 ribu”katanya. Mereka juga menambahkan “kalau istilah shodaqoh kok kenapa harus ditentukan Rp. 100 ribu? Malah sekarang pengambilan raport ada lagi dana sukarela sebesar Rp. 300 ribu dan dana investasi Rp. 1,5 juta yang nantinya sebagai ganti uang gedung”tambahnya.
Kami para wali murid sangat resah dan keberatan dengan adanya tarikan ini, apalagi di masa Pandemi Covid-19, ini sangat memberatkan kami. Wali murid berinisial NH, B dan IW berharap agar pihak sekolah meniadakan tarikan tersebut untuk selamanya agar masyarakat yang mau menyekolahkan anaknya di sekolahan Negeri tidak was-was karena mahal biayanya.
Diwaktu terpisah, Drs. Mahmud Asyari, M.pd selaku Kepala Sekolah SMPN 1 Tumpang mengatakan “kalau ada keluhan dari wali murid langsung ke komite saja, terkait masalah seragam sudah saya bicarakan dengan wali murid, yang dimana para wali murid meminta agar pihak sekolahan yang menyediakan seragam sekolah bagi anak didik baru dengan melalui koperasi sekolah dan itu tidak ada paksaan”ujarnya. Disinggung seragam gratis, Mahmud berdalih kalau sekarang anggaran BOSKab sudah gak ada lagi. Sedangkan untuk dana sukarela maupun investasi kita langsung temui Komitenya langsung saja.
Suyitno selaku ketua komite mengatakan “kalau penarikan semua itu sudah ada kesepakatan dengan wali murid, dan penggunaannya untuk pembangunan pembangunan sekolah, pembelian komputer dan pembelian cctv”katanya. Suyitno juga menambahkan bahwa “kalau ada wali murid yang tidak mampu segera mungkin menemui komite dan sifatnya ini tidak ada paksaan, maka kami akan menggratiskan semuanya”tambahnya.
Penyelenggaraan pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan dasar secara jelas dan tegas diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UUD 1945, serta Pasal 34 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu juga dipertegas lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Dasar. Penarikan pungutan sekolah dilarang lantaran Pemerintah telah menggulirkan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Tujuannya khusus untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa jenjang pendidikan dasar, kecuali rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional. Kita menyadari jika pelaksanaan pendidikan hanya mengandalkan APBN dan APBD tidak akan mencukupi kebutuhan satuan pendidikan. Sementara itu, regulasi secara gamblang melarang sekolah melakukan pungutan.
Menjawab persoalan itu, sekolah sesungguhnya diperkenankan meminta sumbangan. Yang dapat dilakukan sekolah hanya menerima sumbangan. Dan dimensi sumbangan dalam Permendikbud 44 Tahun 2012 adalah bersifat sukarela (tidak wajib), tidak memaksa, tidak mengikat, dan jumlah maupun jangka waktunya tidak ditentukan pihak sekolah, komite sekolah atau lembaga lain pemangku kepentingan satuan pendidikan. Artinya bentuk-bentuk pungutan semacam uang komite dan uang pembangunan yang ditentukan jumlah dan jangka waktu pembayarannya serta bersifat memaksa tidak boleh dilakukan. Sekolah harus bisa membedakan antara sumbangan dan pungutan. Kita berharap tidak ada lagi pungutan di sekolah, tapi sumbangan sukarela wali murid yang menginginkan layanan pendidikan bermutu lebih baik. (Lus)