(pelitaekspres.com) -INDRAMAYU – Acara Pesta Rakyat yang digelar di area Sport Centre Indramayu menuai polemik. Alih-alih menjadi ajang hiburan dan pemberdayaan ekonomi warga lokal, acara ini justru menyisakan luka bagi para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup di kawasan tersebut.
Sejumlah pedagang lokal mengeluhkan sikap panitia, khususnya Karang Taruna Kabupaten, yang disebut-sebut sebagai penyelenggara kegiatan. Mereka mengaku dipaksa pindah dan tersingkir dari tempat biasa berjualan demi memberi ruang bagi pedagang luar daerah yang bersedia membayar biaya sewa lapak hingga Rp 300.000 per meter.
“Kami tidak menolak acaranya, tapi kenapa kami yang selama ini setia berdagang di sini malah disingkirkan? Kami juga butuh makan, kami juga warga Indramayu,” ungkap seorang pedagang lokal dengan nada kecewa.
Falian, Ketua PKL dari Karang Taruna Karanganyar, saat dikonfirmasi awak media di lokasi kegiatan, Selasa (25/06), mengakui bahwa pihaknya menarik pungutan sebesar Rp 300.000 per meter untuk setiap lapak dagang. Dana tersebut, menurutnya, masuk ke Karang Taruna.
“Itu hanya untuk lapak biasa. Untuk UMKM kami sediakan lokasi gratis,” ujar Falian.
Namun saat ditanya soal total jumlah lapak yang dipungut dan nominal dana yang terkumpul, Falian mengaku tidak mengetahui secara pasti. Ketidak jelasan ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat soal transparansi pengelolaan dana dan kepentingan siapa yang sebenarnya dilayani oleh pesta rakyat ini.
Lebih jauh, Falian mengklaim bahwa pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Ketua Pedagang Sport Centre. Namun bantahan keras disampaikan oleh Nurbaeti, selaku ketua pedagang setempat.
“Tidak ada koordinasi sama sekali! Dan yang lebih menyakitkan, anggota kami yang selama ini berdagang di sini justru diusir begitu saja. Hanya demi uang lapak dari pedagang luar?” tegas Nurbaeti dengan nada geram.
Ia menyayangkan tindakan Karang Taruna Karanganyar yang dianggap mengorbankan pedagang lokal demi keuntungan sepihak.
“Jangan korbankan kami demi pungutan lapak. Kami ini rakyat kecil, berjualan untuk hidup, bukan untuk dirugikan seperti ini.”
Kondisi ini memunculkan kritik tajam dari masyarakat. Alih-alih memperkuat ekonomi lokal, acara Pesta Rakyat ini justru dinilai telah mencederai semangat gotong royong dan keadilan sosial. Banyak pihak mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan kegiatan, termasuk audit terhadap penggunaan dana yang telah dipungut dari para pedagang.
Acara yang mengatasnamakan rakyat seharusnya memberi ruang dan perlindungan lebih kepada rakyat kecil, bukan justru menyingkirkan mereka demi kepentingan segelintir pihak. (Wira)