(pelitaekspres.com) –PALEMBANG– Puluhan massa yang tergabung dalam Pemerhati Organisasi Sosial dan Ekonomi (POSE) RI bersama JO Media Partner POSE RI menggelar aksi unjuk rasa di depan MaxOne Hotel Palembang, Jumat (3/10/2025). Aksi ini merupakan bentuk protes keras terkait dugaan penyerobotan tanah yang melibatkan pihak manajemen hotel.
Ketua Umum POSE RI sekaligus Ketua Umum Serikat Masyarakat Sumsel, Desri Nago, S.H, menyatakan bahwa aksi ini dilakukan karena pihaknya menilai telah terjadi pelanggaran hukum, khususnya Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Dugaan pelanggaran itu disebut melibatkan Veronika Wijaya dan Hendri alias Hendri Palcomtech, selaku pemilik MaxOne Hotel saat ini.
Menurut Desri, kasus ini bermula dari pembangunan MaxOne Hotel di atas lahan seluas 550 meter persegi yang secara hukum masih tercatat sebagai milik sah ahli waris M. Saleh. Ia menegaskan, pembangunan tersebut dilakukan tanpa dasar hak yang jelas, sehingga dianggap sebagai tindakan penyerobotan.
“Penyerobotan tanah adalah bentuk nyata perbuatan melawan hukum. Aksi ini bisa berupa menempati tanah tanpa izin, melakukan pemagaran, mengusir pemilik yang sah, hingga membangun di atas lahan yang bukan miliknya. Semua itu jelas merugikan pemilik sah dan bisa ditindak melalui instrumen hukum pidana,” ujarnya.
Ia menambahkan, praktik penyerobotan lahan kerap terjadi di kota-kota besar, termasuk Palembang. Keterbatasan lahan kosong ditambah tingginya minat pebisnis untuk mendirikan usaha membuat persoalan pertanahan semakin kompleks.
Desri menjelaskan bahwa konflik agraria biasanya dipicu oleh adanya kepentingan ekonomi. Tidak jarang, konflik tersebut menyeret pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, sehingga mampu mengabaikan hak-hak pemilik tanah yang sah.
“Dalam beberapa kasus, penyerobotan tanah dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau pengaruh besar. Mereka memanfaatkan posisi tersebut untuk menguasai lahan orang lain demi kepentingan bisnis, tanpa mempertimbangkan dampak kerugian yang dialami pemilik sah,” bebernya.
Menurutnya, dalam kasus MaxOne Hotel, pembangunan yang dilakukan di atas tanah milik ahli waris M. Saleh jelas berpotensi menimbulkan kerugian besar, baik secara finansial maupun hak kepemilikan. Pemilik sah disebut kehilangan kesempatan memanfaatkan tanah itu untuk kebutuhan mereka sendiri, termasuk potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh.
Dalam aksi tersebut, POSE RI bersama JO Media Partner POSE RI menyampaikan sejumlah tuntutan tegas kepada pemilik MaxOne Hotel. Tuntutan itu antara lain:
1. Mengosongkan dan menyerahkan kembali tanah seluas 550 meter persegi kepada ahli waris M. Saleh sebagai pemilik sah.
2. Menghentikan seluruh aktivitas di atas lahan yang disengketakan.
3. Memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami ahli waris selama lahan tersebut dikuasai pihak hotel.
4. Membongkar seluruh bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut.
5. Mengembalikan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan lahan kepada ahli waris M. Saleh.
“Dengan semua dasar hukum yang ada, kami mendesak pemilik MaxOne Hotel agar segera mengembalikan hak ahli waris M. Saleh. Jika tidak, kami akan terus mengawal kasus ini sampai ada keadilan yang ditegakkan,” tegas Desri di hadapan massa aksi.
Di sisi lain, manajemen MaxOne Hotel melalui Adam, menyampaikan pernyataan singkat menanggapi aksi tersebut. Ia menegaskan bahwa persoalan sengketa tanah itu saat ini tengah berproses di pengadilan.
“Marilah kita sama-sama menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kita tunggu hasil putusan pengadilan,” ujarnya singkat.
Pernyataan itu menegaskan bahwa pihak hotel memilih jalur hukum untuk menyelesaikan konflik, meski desakan massa untuk segera mengosongkan lahan masih terus bergema.
Kasus yang menimpa MaxOne Hotel bukanlah hal baru dalam persoalan agraria di Indonesia. Penyerobotan lahan kerap menjadi isu sensitif yang menimbulkan konflik berkepanjangan. Dengan nilai tanah yang semakin tinggi di kawasan perkotaan, banyak pihak tergoda untuk menguasai lahan meski tanpa hak yang sah.
Bagi ahli waris M. Saleh, kasus ini bukan sekadar soal nilai ekonomi, melainkan juga tentang hak kepemilikan dan keadilan hukum. Jika pengadilan memutuskan bahwa benar terjadi penyerobotan, maka kasus ini bisa menjadi preseden penting agar praktik serupa tidak terus berulang di kemudian hari. (dkd)