Semarak Budaya di Jantung Purwakarta: Ogoh-ogoh Menari, Reog Menggema

(pelitaekspres.com) -PURWAKARTA – Rembulan belum sepenuhnya naik ketika suara tetabuhan tradisional mulai terdengar mengiringi malam di jantung Purwakarta. Minggu itu, 20 Juli 2025, jantung kota seolah berdetak dalam irama yang berbeda. Ribuan pasang mata tertuju ke satu titik: panggung budaya besar yang merayakan hari jadi ke-194 Kota Purwakarta dan ke-57 Kabupaten Purwakarta.

Festival Budaya Nusantara, demikian nama perhelatan yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta, menjadi oase kebudayaan yang menghadirkan pesona dari berbagai penjuru negeri. Tak hanya sekadar gelaran tahunan, acara ini menjadi puncak selebrasi identitas, semangat, dan kebanggaan akan warisan budaya Indonesia yang begitu beragam.

Pagi itu, suasana berubah menjadi magis ketika sebuah kereta kencana meluncur pelan di tengah kerumunan. Di atasnya berdiri tegap Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein akrab disapa Om Zein dengan senyum lebar dan lambaian tangan kepada masyarakat. Di belakangnya, Wakil Bupati Abang Ijo Hapidin, para pejabat Forkopimda, serta kepala dinas menunggangi kuda-kuda gagah, menyusuri rute dari Jalan Veteran hingga ke Jalan Jenderal Sudirman.

“Ini bukan sekadar parade. Ini cerminan kekayaan jiwa bangsa yang tumbuh dari desa-desa, dari tanah yang penuh sejarah dan kebanggaan,” tutur Om Zein kepada wartawan di sela arak-arakan.

Tepuk tangan riuh pecah ketika Ogoh-ogoh dari Bali muncul. Patung raksasa simbol kejahatan itu, yang biasa diarak menjelang Hari Raya Nyepi, bergerak pelan namun mengintimidasi di tengah jalan kota. Wajah-wajah anak-anak memancarkan kekaguman, sementara orang dewasa tak kuasa mengangkat ponsel mengabadikan momen langka itu.

Tak lama, Reog Ponorogo dari Jawa Timur menyusul. Sosok dadak merak yang besar dan gagah, lengkap dengan gemuruh kendang dan terompet khasnya, membuat suasana semakin semarak. Di balik topeng berat itu, ada peluh, kekuatan, dan cerita yang panjang tentang seni warisan nenek moyang.

Namun tak hanya dari luar provinsi, kebanggaan lokal Jawa Barat juga tampil penuh pesona. Ada Badud dari Pangandaran yang jenaka, Rengkong dari Sukabumi yang anggun, hingga Benjang dari Kota Bandung yang penuh semangat. Tak ketinggalan, Kokoprak Genye dari Purwakarta tampil memukau sebagai tuan rumah yang tak ingin kalah bersinar.

Setiap kecamatan di Purwakarta pun ikut ambil bagian. Mereka membawa kelompok seni masing-masing, tampil bukan sekadar sebagai pelengkap, tapi sebagai bagian penting dari mozaik budaya yang hidup.

“Festival ini milik semua warga. Kami ingin seluruh masyarakat merasa menjadi bagian, bukan sekadar penonton,” ucap Om Zein penuh keyakinan.

Di balik gemerlap kostum dan denting musik, terselip misi besar. Pemerintah Kabupaten Purwakarta berharap festival ini tak hanya menjadi tontonan, tapi juga menjadi sarana edukasi dan pelestarian budaya. Di tengah gelombang modernisasi, seni tradisi menjadi jangkar yang menautkan generasi muda dengan akar mereka.

Menjelang malam, ribuan warga mulai memadati kawasan Taman Air Mancur Sri Baduga. Di sinilah pesta budaya ditutup dengan pertunjukan spektakuler air mancur menari, yang seolah ikut larut dalam euforia hari jadi Purwakarta.

Tak ada kericuhan, tak ada kegaduhan. Yang ada hanyalah tawa, kagum, dan rasa bangga. Sebuah pesta rakyat yang lahir dari hati dan kembali ke hati. Seperti yang diucapkan seorang pengunjung, “Rasanya seperti mimpi, melihat Indonesia hadir begitu dekat, begitu nyata di jalanan kota kami.”

Ya, hari itu Purwakarta tidak sekadar merayakan hari jadi. Ia merayakan jiwa Nusantara yang hidup di setiap langkah warganya. Purwakarta, istimewa. (DR)

Tinggalkan Balasan