(pelitaekspres.com) –JAKARTA- Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menyoroti memburuknya kualitas penegakan hukum Indonesia yang menurutnya semakin menunjukkan tanda-tanda pengadilan sesat. Kasus terbaru yang menimpa jajaran direksi ASDP dinilai menjadi contoh nyata bagaimana proses hukum yang keliru dapat merusak ekosistem ekonomi nasional.
Prof. Didik menegaskan bahwa sistem hukum seharusnya menjadi pilar bagi tumbuh kembang ekonomi melalui kepastian kontrak, penegakan aturan yang adil, dan proses peradilan yang dapat diprediksi. Namun, berbagai kasus menunjukkan sebaliknya.
“Ketika Seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor. Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat.” tegasnya.
Ia menilai kondisi ini menjadikan para pelaku usaha, investor menahan investasi, profesional kaku dan takut mengambil keputusan, aktivitas bisnis menjadi lamban, bahkan mandeq karena berhati-hati dan takut.
Dalam kasus ASDP, direksi melakukan corporate action berupa akuisisi perusahaan sejenis untuk meningkatkan kapasitas layanan penyeberangan nasional. Langkah ini, menurut Prof. Didik, sangat baik secara manajemen dan sukses dilakukan sehingga menambah kapasitas layanan penyeberangan, yang berguna untuk masyarakat.
Adapun faktanya, menurut Prof. Didik: Laba ASDP meningkat hingga Rp637 miliar pada 2023, tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, ASDP masuk peringkat 7 BUMN terbaik di Indonesia, Tidak ada aliran dana mencurigakan, sebagaimana ditegaskan KPK, PPATK tidak menemukan transaksi korupsi, BPK sudah melakukan audit dengan opini “Wajar Dengan Pengecualian” hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8-10 miliar.
Namun, proses hukum justru mengkategorikan pembelian kapal sebagai “besi tua” dan memutuskan adanya kerugian negara Rp1,25 triliun—angka yang dinilai “absurd” oleh Prof. Didik, terutama karena BPK hanya menemukan opportunity loss maksimal sekitar Rp10 miliar.
“Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kaca mata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif” ujarnya.
Prof. Didik menyebut bahwa kerusakan hukum telah terjadi lebih luas: aparat korup, intervensi politik dalam penegakan hukum, serta melemahnya lembaga seperti KPK yang dulu menjadi simbol reformasi.
“Sejak Jokowi dan kekuatan politik di sekitarnya mencabik-cabik KPK, maka wajah lembaga hukum yang lahir dari rahim reformasi ini sudah compang-camping dan penuh culas karena bersekutu dengan kepentingan-kepentingan picik.” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa rule of law Indonesia masih jauh tertinggal, dengan skor hanya 0,52 (skala 0–1). Kondisi ini, menurutnya, dapat menjadi penghambat utama bagi agenda Presiden Prabowo Subianto dalam memajukan perekonomian.
“Pengadilan tidak boleh mencampuradukkan keputusan bisnis yang mengandung risiko dengan kriminalitas. Jika dibiarkan, kita akan menghadapi anarki hukum di masa depan,” pungkas rof. Didik.


