Maraknya Kekerasan Perempuan dan Anak di Maluku Utara Warnai Hari Kartini 2022

(pelitaekspres.com) SOFIFI – Peringatan Hari Kartini tahun 2022 masih diselimuti dengan tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku Utara.

Pada triwulan pertama tahun 2022, DP3A Maluku Utara mencatat laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak  mengalami peningkatan drastis. Sebelumnya, tahun 2020 tercatat 144 kasus dan tahun 2021 sebanyak 292 kasus.

“Mulai Januari sampai Maret 2022 sudah ada 64 kasus kekerasan perempuan dan anak,” ungkap Kadis DP3A Maluku Utara Musyrifah Alhadar, baru-baru ini, di Kota Ternate.

Menurutnya, kasus kekerasan perempuan dan anak yang dilaporkan ke pihaknya, terbanyak di Kota Ternate. Sedangkan kasus yang paling banyak dialami adalah kasus kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan fisik.

“Kasus ini, tertinggi didominasi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga, kasus kekerasan pada anak ini seperti fenomena gunung es, karena dipastikan masih ada kasus yang tidak dilaporkan ke pemerintah,” akunya.

Terpisah, seperti dilansir dari laman tandaseru.com, Jumat (22/4/2022). Psikolog Klinis yang juga Founder ECP Khairunnisa dalam diskusi yang digelar komunitas Payung Sejiwa di Kedai Rumah Tua Literasi Kota Tidore Kepulauan, pada tanggal 26 Februari 2022 lalu, mengatakan selama penanganan kasus kekerasan di Maluku Utara, pihak korban lebih didominasi dari kalangan anak-anak.

“Kebanyakan dalam kasus kekerasaan seksual terhadap anak di Maluku Utara, dimulai dari usia 5-13 tahun. Dari wawancaranya, awalnya mereka sangat tertutup, ketakutan, kecemasan, maupun pemeriksaan secara psikologis,” tuturnya.

Pada kesempatan tersebut, ia kembali menuturkan terkait penanganan asesmen terhadap korban kekerasaan anak terdapat tiga tahapan, yaitu tes integritas, kepribadian, dan bercerita tentang kasus yang dialami. Tak hanya itu, pihak keluarga juga dimintai keterangan lebih lanjut.

Khairunnisa menjelaskan, setelah tahapan itu dilewati, selanjutnya ada rencana tindak lanjut dalam bentuk intervensi. Bentuknya adalah pemulihan atau terapi terhadap korban.

“Kalau dari Pemberdayaan Perempuan dan Anak hanya lewat asesmen saja, dan selanjutnya kembali ke Dinas Sosial untuk membuat tindaklanjutnya,” paparnya.

Sementara, Pemerhati Perempuan Astrid Hasan menambahkan, selama mendampingi korban kekerasan ada banyak faktor yang menjadi kendala. Ia mencontohkan, ketika menyambangi korban kekerasan seksual di Kecamatan Oba Tengah, pihaknya juga melakukan audiens dengan Kapolres terkait SP3 kasus tersebut. Namun, korban menurutnya tidak mendapat keberpihakan hukum dalam kasus tersebut.

“Jadi kami berasumsi bahwa kasus kekerasaan yang terjadi di ruang-ruang publik sangat rentan dalam penanganan secara hukum,” tegasnya. (ais).

Tinggalkan Balasan