‎Kuasa Hukum: Oknum Penyidik Diduga Arahkan Korban KDRT Cabut Kuasa Hukum dan Hubungi di Luar Jam Kerja ‎

(pelitaekspres.com) -PALEMBANG- ‎Kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa seorang perempuan berinisial MA kembali menarik perhatian publik. Kali ini, persoalan mencuat bukan hanya soal lambannya proses hukum, tetapi juga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum penyidik Paminal Polda Sumatera Selatan, yang disebut-sebut telah melakukan komunikasi pribadi dengan korban di luar konteks penyidikan.

‎‎Tim kuasa hukum MA, yakni Muhammad Ricko Prateja, S.H., Sagito, S.H., M.H., dan Medi Rama Doni, S.H., M.H., menyampaikan pernyataan resmi dalam konferensi pers yang digelar di Palembang pada Sabtu (8/11/2025). Mereka menilai tindakan oknum penyidik tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap kode etik profesi Polri dan prinsip profesionalitas aparat penegak hukum.

‎‎Dalam pernyataannya, Ricko menjelaskan bahwa pihaknya telah melayangkan laporan resmi ke Divisi Propam Mabes Polri, disertai dengan sejumlah dokumen pendukung seperti Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penelitian Propam (SP2HP2), Surat Perintah Penyelidikan, dan bukti administrasi lain yang relevan.

‎‎Menurut Ricko, dari keterangan yang disampaikan kliennya, ditemukan adanya tindakan-tindakan tidak etis yang dilakukan oleh salah satu penyidik Paminal. Penyidik tersebut diduga menghubungi korban secara pribadi, memengaruhi agar korban mencabut kuasa hukumnya, serta melakukan komunikasi berulang di luar jam kerja tanpa alasan penyidikan yang jelas.

‎‎“Kami mendapat informasi bahwa oknum penyidik tersebut bahkan mengajak klien kami keluar di malam hari, berbicara hal-hal pribadi yang tidak pantas, dan mencoba melakukan pendekatan di luar konteks profesional,” ujar Ricko.

‎‎Lebih lanjut, Ricko menilai bahwa tindakan tersebut telah melanggar hak korban atas pendampingan hukum, yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

‎‎Dalam penjelasan kuasa hukum, oknum penyidik tersebut bahkan mengajak korban untuk melakukan BAP di luar kantor polisi, tanpa surat tugas resmi. Tindakan itu dianggap tidak hanya melanggar prosedur hukum, tetapi juga berpotensi sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.

‎“Ini bukan hanya masalah etika, tapi bisa mengarah pada dugaan penyalahgunaan jabatan dan pelanggaran disiplin berat. Hal semacam ini tentu mencederai integritas institusi Polri,” tegas Ricko.

‎‎Kuasa hukum lainnya, Medi Rama Doni, S.H., M.H., juga menegaskan bahwa laporan ini dibuat untuk menjaga marwah dan kehormatan institusi Polri. Ia menekankan, tindakan penyidik yang bersinggungan langsung dengan korban tanpa kepentingan penyidikan adalah hal yang tidak dapat ditoleransi.

“Kami meminta Propam Mabes Polri untuk segera memeriksa oknum penyidik berinisial A, memberikan sanksi tegas, serta mengganti penyidik tersebut dari penanganan perkara. Hal ini penting agar tidak terjadi konflik kepentingan dan demi menjaga kepercayaan publik terhadap Polri,” tegas Medi.

‎‎Dalam tuntutannya, tim kuasa hukum MA mengajukan lima poin utama yang mereka harapkan segera ditindaklanjuti oleh Propam Mabes Polri, yakni:

‎‎1. Memeriksa oknum penyidik berinisial A atas dugaan pelanggaran etika.

‎‎2. Menjatuhkan sanksi etik dan disiplin sesuai ketentuan yang berlaku.

‎‎3. Menarik dan mengganti penyidik tersebut dari penanganan perkara.

‎‎4. Menjamin korban tidak dihubungi secara pribadi di luar kepentingan penyidikan.

‎‎5. Menjalankan proses penyelidikan secara profesional, objektif, dan transparan.

‎‎”Kami tidak bermaksud mengintervensi, tetapi ingin memastikan proses hukum berjalan dengan benar. Kami percaya Propam adalah garda terdepan menjaga kehormatan Polri,” kata Medi.

‎‎Sementara itu, korban MA mengungkapkan secara langsung pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya selama proses penyelidikan berlangsung. Ia mengaku merasa tidak nyaman karena pendekatan personal yang dilakukan oleh oknum penyidik tersebut.

‎‎“Waktu itu dia meminta nomor telepon saya. Setelah saya selesai BAP, sekitar magrib dia menghubungi saya lagi dan bilang kalau bisa BAP di luar saja tanpa surat, karena saksinya mama saya,” tutur MA.

‎‎MA mengaku, penyidik itu juga menyarankan agar dirinya tidak perlu menggunakan pengacara, bahkan mengajaknya makan malam di luar. Tak berhenti di situ, oknum tersebut sempat melakukan video call yang kemudian dibalas dengan ucapan kasar ketika MA tidak merespons.

‎“Malamnya dia video call, tapi saya tidak angkat. Dia marah dan bicara kasar, lalu saya blokir. Tapi tidak lama, dia hubungi lagi pakai nomor lain, bertanya kenapa saya blokir. Komunikasi itu terus berulang dan membicarakan hal-hal pribadi, termasuk masalah rumah tangganya sendiri,” ungkapnya dengan nada kecewa.

‎‎MA mengaku trauma dan terganggu, serta berharap agar laporan kuasa hukumnya mendapat perhatian serius dari Mabes Polri.

‎“Saya hanya ingin keadilan ditegakkan. Tolong jangan ganggu saya dengan hal-hal di luar penyidikan. Saya ingin kasus ini ditangani dengan benar dan profesional,” tegasnya.

‎‎Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyentuh dua isu penting sekaligus: penegakan hukum yang bersih dan perlindungan terhadap korban kekerasan. Praktik komunikasi personal antara penyidik dan korban, apalagi disertai percakapan bernada tidak pantas, dapat mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

‎‎Kuasa hukum MA menegaskan, mereka akan terus mengawal proses hukum hingga tuntas dan memastikan korban mendapatkan perlindungan yang layak tanpa tekanan dari pihak mana pun.

‎‎“Korban KDRT seharusnya merasa aman dan terlindungi saat berhadapan dengan penegak hukum, bukan justru merasa takut atau tidak nyaman. Kami harap Propam segera turun tangan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” pungkas Ricko.(dkd)

Tinggalkan Balasan