(pelitaekspres.com) -PALEMBANG- Kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa seorang perempuan berinisial MA kini memasuki babak baru, namun proses hukumnya dinilai berjalan lamban. Meski berkas perkara telah dinyatakan lengkap atau P-21, dan tahap II berupa penyerahan tersangka serta barang bukti dari penyidik ke pihak kejaksaan telah dilakukan, hingga kini tersangka belum juga ditahan dan perkara belum dilimpahkan ke pengadilan.
Situasi ini mendapat sorotan serius dari tim kuasa hukum korban yang terdiri dari Muhammad Ricko Prateja, S.H., Sagito, S.H., M.H., dan Medi Rama Doni, S.H., M.H. Mereka menyampaikan sikap resmi dan pertanyaan terbuka kepada pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan terkait kejelasan proses hukum perkara tersebut.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Sabtu siang (8/11/2025), kuasa hukum MA, Muhammad Ricko Prateja, S.H., mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi yang diterima, penyidikan oleh Polda Sumatera Selatan telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh pihak Kejaksaan. Bahkan, pelimpahan tahap II juga telah dilakukan sejak lebih dari satu bulan yang lalu.
“Namun, hingga saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum melakukan penahanan terhadap tersangka dan belum melimpahkan perkara ini ke pengadilan untuk disidangkan,” ujarnya.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar. Pihak kuasa hukum mempertanyakan dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh jaksa untuk tidak melakukan penahanan, mengingat perkara KDRT termasuk kategori serius dan menyangkut keselamatan serta keadilan bagi korban.
Menanggapi isu yang beredar di publik, Sagito, S.H., M.H. menegaskan bahwa klien mereka, MA, tidak pernah melakukan atau berniat melakukan upaya perdamaian dengan pihak terlapor.
“Kami tegaskan, klien kami sama sekali tidak pernah mencoba berdamai dengan pelaku. Karena itu, kami menuntut agar kejaksaan memberikan penjelasan terbuka kepada publik terkait alasan penundaan proses penahanan dan persidangan,” tegas Sagito.
Lebih lanjut, Ricko menambahkan bahwa pihaknya tetap menghormati independensi dan profesionalitas kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum. Namun demikian, mereka juga memiliki hak konstitusional untuk meminta transparansi dan akuntabilitas publik, terutama dalam perkara yang menyangkut korban perempuan dan kekerasan domestik.
Sebagai tindak lanjut, tim kuasa hukum MA telah mengirimkan surat resmi kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Surat tersebut berisi permintaan agar dilakukan evaluasi dan pengawasan terhadap proses penanganan perkara ini.
“Kami menilai ada indikasi ketidakprofesionalan dalam penanganan kasus ini, yang dapat berpotensi menghambat keadilan bagi korban,” ujar Ricko.
Tak berhenti di situ, Sagito menambahkan bahwa pihaknya juga akan menyurati Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Jaksa Agung RI, serta Komisi III DPR RI agar turut mengawasi jalannya proses hukum tersebut.
“Langkah ini bukan bentuk intervensi terhadap proses hukum, melainkan upaya agar hukum ditegakkan secara objektif, transparan, dan adil, serta memberikan rasa aman dan keadilan bagi korban,” jelasnya.
Di sisi lain, korban MA turut menyampaikan harapannya agar penegak hukum bertindak cepat dan tegas. Ia merasa kecewa karena hingga kini belum ada kejelasan meski status perkara sudah P-21.
“Kasus ini sudah P-21, tapi tersangka belum juga ditahan. Polisi dan kejaksaan tidak melakukan penahanan. Saya minta agar tersangka segera ditangkap,” ujar MA dengan nada tegas.
Lebih lanjut, MA berharap agar pelaku mendapatkan sanksi tegas, termasuk pemberhentian dari jabatannya bila terbukti bersalah.
“Keinginan saya sederhana, keadilan ditegakkan. Karena ini sudah jelas P-21, saya ingin prosesnya jangan dihambat lagi,” tandasnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut keadilan bagi korban kekerasan rumah tangga, isu yang kerap kali terhambat di ranah hukum. Pengacara MA menilai bahwa lambannya tindakan kejaksaan dapat menciptakan preseden buruk dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
“Penegakan hukum yang adil dan transparan adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik. Ketika korban sudah cukup berani melapor, negara wajib hadir dan menjamin perlindungan serta kepastian hukum,” tegas Ricko.
Pihaknya berharap agar Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan segera memberikan klarifikasi resmi terkait alasan belum ditahannya tersangka, serta mempercepat pelimpahan perkara ke pengadilan agar proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya. (dkd)


