(pelitaekspres.com) – Yapen – Pdt. Rembran Hiowati selaku Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Kabupaten Kepulauan Yapen, dikonfirmasi media mengatakan bahwa disaat proses pemalangan Lokasi Wisata Manabay di Kampung Saraandori Kosiwo Yapen, kehadirannya dilokasi guna melihat secara langsung kasus-kasus adat yang terjadi, dikatakannya pada Senin malam, 12/07/2021.
Ungkap Rembran, bahwa setelah menelusuri status Tanah Adat yang digunakan saat ini oleh Pemda Kabupaten Kepulauan Yapen untuk pembangunan Wisata Manabay rupanya masih ngambang, belum jelas karena informasinya masih simpang siur, urainya.
Informasi yang diterima dengan status Tanah Adat ini adalah Tanah yang dijual atau dilepaskan oleh marga Wayeni kepada Pemda Yapen dan tidak ada saksi yang bersedia menandatangi, olehnya menurut Rembran dalam hukum Adat terkait surat pelepasan itu menjadi cacat, ungkapnya.
Lanjut Rembran bahwa ketika pembangunan fisik yang menggunakan anggaran daerah/pusat maka status tanah yang digunakan haruslah memiliki keabsahan hukum/kekuatan hukum tetap. Sebab itu, sebelum Pemda melakukan pembangunan, haruslah dicek status penjual dan pihak-pihak mana saja yang dilibatkan sebagai saksi dalam pelepasan tanah dimaksud, urainya.
Keabsahan adalah pihak-pihak yang dilibatkan itu, saksi-saksi yaitu yang mengetahui status tanah dengan batasan-batasan wilayah adat dari lokasi itu barulah kemudian pihak-pihak itu menandatangani surat dokumen pelepasan guna pengurusan Sertifikat yang kemudian bisa dijadikan dasar pembangunan.
Sebelum wilayah adat ini diselesaikan maka “menurut hukum Adat, pemerintah tidak punya hak atau tindakan berupa intervensi”. “Ketika saya dilapangan, saya melihat ada Pol PP yang datang, inikan keliru”.
Tujuan dari masyarakat Serui Laut dan Mantembu khususnya 2 marga Warmetan Bonai yang tadi (Senin, 12/07/21) melakukan pemalangan lokasi, supaya memperjelas status kepemilikan Tanah Adat dimaksud. Kalau marga Wayeni yang melepaskan tanah ke Pemda merasa tidak puas maka bisa melaporkan ke Dewan Adat guna penyelesaian.
Nanti lembaga Dewan Adat yang punya kompeten, memiliki kewenangan hukum Adat guna menyelesaikan. Saya sendiri mendengar dari marga Bonai dan Warmetan bahwa 3 minggu kedepan adalah waktu yang diminta untuk panggilan penyelesaian secara hukum adat di Dewan Adat.
Itu yang sangat prinsip untuk segera diselesaikan, jadi saya berharap kepada kita semua untuk pilah dulu kasus Tanah Adat ini. Kasus Adat ini tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun.
Ketika marga Bonai dan Warmetan memasang Palang Adat maka secara hukum Adat dalam kapasitas Adat yang tinggi tidak bisa dilangkahi oleh siapapun. Termasuk aparat pemerintah yang berani membongkarnya maka dia akan dikenakan sanksi dan itu adalah pelanggaran Hukum Adat yang besar, dan mencemarkan Hukum Adat yang ada diseluruh tanah ini Kabupaten Kepulauan Yapen.
Selaku masyarakat Adat yang ada di wilayah ini, saya juga berpesan untuk tidak menerima tindakan diluar Hukum Adat. Olehnya baik pemerintah jika ada unsur memfasilitasi Polisi, atau TNI untuk membongkar palang itu, maka saya akan gugat ke pengadilan Adat karena ini adalah wilayah Adat yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Saya juga menerima informasi dari keluarga Warmetan dan Bonai bahwa mereka juga setujuh dengan pembangunan Pariwisata dalam mendukung ekonomi masyarakat, tetapi pemanfaatannya harus jelas. Pengelolaanya pihak mana saja dan tentu keterlibatan mereka sebagai pemilik wilayah Adat dengan mengacu pada UU Otsus Papua.
Dalam hal Pemberdayaan, Keberpihakan dan Proteksi, diharapkan mereka juga terlibat supaya asset ini bisa dikelolah oleh mereka sendiri sesuai dengan komitmen dan amanat dalam UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001.
Kepada pihak-pihak terkait, jangan paksakan diri untuk merampok/ mau monopoli hak wilayah Adat mereka sebab mereka punya perencanaan (plane) jelas, mereka ingin kejelasan ini tentang statusnya.
Mereka tidak bersedia jual tetapi mereka minta kerjasama dengan Pemda melalui MoU untuk membangun obyek Wisata demi kesejahteraan masyarakat dan demi daerah, tegas Ketua AMAN Yapen ini, (Rep.zri).