Oleh: Nia Lefiani *)
*) Dosen Prodi Pariwisata IIB Darmajaya
Pariwisata sering disebut sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Ia bukan hanya persoalan hiburan atau rekreasi, melainkan industri yang dapat menghidupkan banyak sektor sekaligus. Dari transportasi, akomodasi, kuliner, hingga industri kreatif, semua bisa tumbuh karena adanya pergerakan wisatawan. Di banyak negara, pariwisata bahkan menjadi tulang punggung perekonomian, berkontribusi signifikan pada produk domestik bruto (PDB).
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar. Dengan ribuan pulau, keanekaragaman budaya, dan panorama alam yang luar biasa, Indonesia bisa menjadi pusat pariwisata dunia. Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya tergarap dengan baik. Banyak destinasi wisata yang populer hanya sesaat, lalu meredup karena minim inovasi, buruknya pengelolaan, atau lemahnya dukungan infrastruktur.
Lampung adalah contoh nyata dari kondisi tersebut. Sebagai pintu gerbang Pulau Sumatera, Lampung seharusnya mampu menjadi destinasi unggulan. Keindahan pantai, pulau, pegunungan, dan wisata perkotaan adalah modal besar. Namun, daya tarik itu belum sepenuhnya mampu menggaet wisatawan mancanegara secara konsisten.
Di tengah tantangan itu, muncul Puncak Mas Sukadanaham sebagai salah satu destinasi wisata baru di Bandar Lampung. Kehadirannya memberi angin segar sekaligus mengajarkan banyak hal tentang bagaimana pariwisata seharusnya dikelola: bukan hanya menawarkan pemandangan indah, tetapi juga menciptakan pengalaman yang berkesan.
Puncak Mas: Magnet Baru di Bandar Lampung
Puncak Mas berlokasi di Kelurahan Sukadanaham, di ketinggian Kota Bandar Lampung. Dari sini, wisatawan bisa menyaksikan panorama kota, laut, dan bukit dalam satu bingkai. Saat senja, pemandangan kota berkelip cahaya menjadi daya tarik yang jarang dimiliki destinasi lain di Lampung. Tak heran jika tempat ini segera populer, terutama di kalangan anak muda yang gemar berburu foto estetik untuk media sosial.
Namun, daya tarik Puncak Mas tidak hanya terletak pada lanskapnya. Spot-spot foto yang kreatif, wahana sederhana, serta suasana alami menjadikannya destinasi wisata kekinian. Di sinilah muncul fenomena baru dalam industri pariwisata: wisata tidak lagi semata tentang objek yang dikunjungi, tetapi juga tentang pengalaman personal yang bisa dibawa pulang.
Sayangnya, popularitas ini juga dibarengi sejumlah catatan kritis. Banyak pengunjung mengeluhkan harga kuliner yang mahal, fasilitas kebersihan yang kurang memadai, serta keamanan wahana yang belum terjamin. Keluhan ini menjadi alarm bagi pengelola: destinasi wisata tidak bisa bertahan lama hanya dengan modal pemandangan indah. Ada aspek lain yang harus dikelola secara serius.
Riset yang dilakukan terhadap wisatawan Puncak Mas menghasilkan temuan menarik. Kepuasan wisatawan ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan minat berkunjung kembali. Banyak wisatawan yang puas dengan panorama dan suasana Puncak Mas, namun tidak serta-merta ingin kembali. Mengapa demikian?
Jawabannya ada pada konsep memorable tourism experience atau pengalaman wisata yang membekas. Wisatawan tidak hanya mengejar kepuasan sesaat, tetapi juga pengalaman yang bisa dikenang, diceritakan, bahkan dibagikan. Tanpa pengalaman berkesan, kepuasan hanya menjadi kenangan singkat yang cepat tergantikan oleh destinasi lain. Menurut Zhang et al. (2018), pengalaman wisata yang berkesan adalah pengalaman yang secara selektif diingat oleh wisatawan setelah perjalanan. Sementara penelitian Kim, Ritchie & Tung (2010) menegaskan bahwa hanya pengalaman yang benar-benar membekas yang akan memengaruhi keputusan wisata di masa depan.
Dengan kata lain, destinasi wisata harus mampu memberi lebih dari sekadar kepuasan. Mereka harus menghadirkan pengalaman unik yang meninggalkan kesan emosional, baik melalui interaksi sosial, suasana, pelayanan, maupun cerita yang dibangun dari destinasi itu sendiri. Pengalaman wisata yang berkesan sejatinya terdiri dari berbagai dimensi. Larsen dalam penelitian Resti Dwi Widiastuti (2017) menyebutkan delapan dimensi pengalaman wisata: kenyamanan, pendidikan, hedonis, kebaruan, pengakuan, relasional, keamanan, dan keindahan.
Jika kita refleksikan pada Puncak Mas, setidaknya ada beberapa dimensi yang menonjol. Dari sisi keindahan, jelas destinasi ini unggul. Dari sisi kebaruan, Puncak Mas mampu menawarkan suasana yang berbeda dari wisata pantai Lampung yang sudah lebih dulu populer. Dari sisi relasional, Puncak Mas menjadi tempat yang cocok untuk berkumpul bersama keluarga atau teman.
Namun, dari sisi kenyamanan, keamanan, dan kebersihan, masih banyak pekerjaan rumah. Keluhan pengunjung terkait harga makanan, fasilitas kebersihan, hingga keamanan wahana membuktikan bahwa dimensi ini belum maksimal. Jika dibiarkan, pengalaman wisata yang seharusnya berkesan bisa berubah menjadi pengalaman yang mengecewakan.
Satu hal yang harus dipahami pengelola wisata adalah perubahan perilaku wisatawan di era digital. Wisatawan kini tidak hanya datang untuk menikmati objek wisata, tetapi juga menjadi promotor tidak resmi melalui media sosial. Setiap foto yang diunggah, setiap ulasan yang ditulis, menjadi bagian dari pemasaran destinasi.
Fenomena ini terlihat jelas di Puncak Mas. Spot-spot selfie yang kreatif menjadi daya tarik utama. Wisatawan datang bukan hanya untuk melihat pemandangan, tetapi juga untuk menciptakan konten digital. Dari sinilah muncul efek domino: semakin banyak konten Puncak Mas beredar di media sosial, semakin tinggi rasa penasaran orang lain untuk datang. Namun, perlu diingat: ulasan negatif juga cepat menyebar. Keluhan tentang harga mahal atau fasilitas yang buruk bisa merusak citra destinasi. Oleh karena itu, pengelola harus cermat menjaga kualitas pengalaman. Dalam pariwisata modern, word of mouth digital adalah senjata promosi sekaligus risiko terbesar.
Tantangan Manajemen dan Peran Pemerintah
Pengelolaan destinasi wisata bukan pekerjaan mudah. Ia membutuhkan sinergi antara pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam membuat regulasi, menyediakan infrastruktur, serta melakukan pengawasan. Sementara pengusaha harus berani berinvestasi dalam pelayanan, kebersihan, keamanan, dan inovasi.
Kasus Puncak Mas memberi pelajaran bahwa lokasi strategis saja tidak cukup. Tanpa pengelolaan yang baik, sebuah destinasi hanya akan jadi tren musiman. Sebaliknya, dengan manajemen yang profesional, Puncak Mas bisa tumbuh menjadi ikon wisata Lampung, bersanding dengan destinasi populer lain seperti Pantai Pahawang atau Way Kambas.
Selain itu, dukungan masyarakat juga penting. Partisipasi warga sekitar dalam menjaga kebersihan, menyediakan produk lokal, atau memberi pelayanan ramah bisa menambah nilai pengalaman wisatawan. Tanpa dukungan masyarakat, destinasi wisata hanya akan menjadi ruang bisnis yang kering tanpa sentuhan budaya lokal.
Pertanyaan besar yang muncul dari penelitian ini adalah: bagaimana cara mengubah kepuasan wisatawan menjadi loyalitas? Jawabannya terletak pada tiga hal utama:
Pertama, Meningkatkan kualitas pengalaman. Bukan hanya memperbaiki fasilitas fisik, tetapi juga menciptakan pengalaman unik yang hanya bisa diperoleh di Puncak Mas. Misalnya, menghadirkan festival budaya lokal di ketinggian, menyediakan kuliner khas Lampung dengan harga terjangkau, atau mengemas narasi sejarah Sukadanaham sebagai bagian dari perjalanan wisata.
Kedua, Mengintegrasikan teknologi. Wisatawan era digital terbiasa dengan akses cepat. Informasi tiket, promosi, hingga ulasan harus mudah dijangkau melalui platform online. Aplikasi resmi Puncak Mas bisa membantu memberikan informasi, memudahkan pemesanan, bahkan mengajak wisatawan untuk berbagi pengalaman.
Ketiga, Membangun branding destinasi. Puncak Mas tidak boleh hanya dikenal sebagai “tempat foto di ketinggian.” Ia harus punya identitas kuat, misalnya sebagai “jendela Lampung dari atas awan.” Identitas ini bisa menjadi daya tarik emosional yang membuat wisatawan ingin kembali.
Harapan Wisata Berkelanjutan
Euforia Puncak Mas memberi pelajaran penting bagi pengembangan pariwisata di Lampung. Kepuasan wisatawan saja tidak cukup; yang lebih penting adalah menciptakan pengalaman berkesan. Pengalaman itulah yang menjadi bahan cerita, kenangan, sekaligus alasan untuk kembali.
Pemerintah daerah, pengelola, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menjaga kualitas destinasi. Dari kebersihan, harga yang wajar, keamanan wahana, hingga pelayanan yang ramah—semuanya adalah bagian dari mozaik pengalaman. Jika mozaik itu tersusun indah, wisatawan tidak hanya puas, tetapi juga loyal.
Pada akhirnya, pariwisata bukan hanya soal angka kunjungan, melainkan soal dampak jangka panjang: apakah destinasi mampu membuat wisatawan kembali, merekomendasikan, dan merasa memiliki kenangan yang tak tergantikan. Jika itu terwujud, Lampung akan melangkah lebih dekat menjadi salah satu ikon pariwisata unggulan Indonesia. (**)