Erik Agusdiansyah: Kesadaran Kritis Pelajar, Investasi Berharga Bagi Masa Depan Bangsa

(pelitaekspres.com) -PALEMBANG- ‎Arus deras digitalisasi yang melanda kehidupan generasi muda tidak serta merta berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Pola pendidikan yang masih klasik dan cenderung kaku membuat pelajar seakan terkungkung dalam “ruang kedap suara,” di mana ide, aspirasi, dan kreativitas mereka sulit terdengar. Alih-alih melahirkan generasi kritis, kondisi ini justru kerap melahirkan fenomena pelajar yang lebih senang mencari sensasi lewat aksi tawuran maupun kericuhan lain yang sempat viral di berbagai daerah.

‎‎Padahal, selama bertahun-tahun para siswa telah mendapatkan pendidikan yang sarat dengan nilai moral, etika, serta budi pekerti melalui mata pelajaran Pendidikan Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan. Namun ironisnya, nilai-nilai luhur tersebut sering kali tidak terinternalisasi dalam perilaku mereka.

‎‎Fenomena terbaru terjadi pada akhir Agustus hingga awal September 2025, ketika ribuan pelajar di berbagai kota Indonesia turun ke jalan menyuarakan aspirasi. Gelombang aksi massa ini bahkan mencatat 3.337 pelajar diamankan aparat kepolisian di 20 kota, dengan puncak tragedi jatuhnya korban jiwa bernama Affan, seorang pengemudi ojek online.

‎‎Tokoh Aktivis Pemuda Sumsel, Erik Agusdiansyah, sekaligus perwakilan Departemen Kajian dan Bacaan Eksekutif Kota Palembang – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (Ek-LMND), menilai bahwa fenomena ini menjadi refleksi serius. “Pertanyaannya, siapa yang salah? Apakah siswa, orang tua, pendidik, sistem pendidikan kita, atau pemerintah sebagai pembuat kebijakan?” ujarnya.

‎‎Menurut Erik, sistem pendidikan Indonesia masih membatasi ruang gerak anak. Pelajar tidak memiliki keleluasaan untuk mengungkapkan gagasan dan pemikiran mereka secara sehat dan terstruktur. Akibatnya, energi kritis yang terpendam seringkali meledak dalam bentuk aksi jalanan yang berisiko menimbulkan kericuhan.

‎‎“Fenomena turunnya pelajar ke jalan ibarat kotak pandora yang terbuka. Di satu sisi menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan potensi anarkisme, tapi di sisi lain ini adalah isyarat bahwa suara mereka butuh ruang untuk disalurkan,” kata Erik.

‎‎Erik mengutip pemikiran filsuf asal Brasil, Paulo Freire, yang menyebutkan bahwa pendidikan bukan sekadar mengisi bejana, melainkan menyalakan api. Dengan kata lain, pelajar seharusnya dipandang sebagai subjek yang perlu diberdayakan agar mampu berpikir kritis, rasional, dan bertanggung jawab.

‎‎Ironinya, pemerintah melalui kebijakan pendidikan justru sering membatasi partisipasi politik pelajar. Larangan bagi siswa menyuarakan pendapat di ruang publik atau media sosial kerap bertentangan dengan semangat pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Padahal sejak sekolah dasar, pelajar telah dikenalkan dengan pembacaan Pancasila, upacara bendera, dan mata pelajaran PKn yang sejatinya merupakan bagian dari pendidikan politik meski masih bersifat doktriner.

‎‎“Jika kita ingin melahirkan warga negara yang peduli dan kritis, maka proses itu harus dimulai sejak dini. Justru kesadaran politik yang sehat akan lebih menakutkan bagi para oligarki ketimbang aksi-aksi anarkis tanpa arah,” jelas Erik.

‎‎Erik Agusdiansyah menawarkan sejumlah solusi agar energi kritis pelajar bisa diarahkan secara positif:

‎‎1. Mengubah Larangan Menjadi Arah Konstruktif

‎Bukan membungkam aspirasi, melainkan mengarahkan siswa untuk menyalurkan kritik dalam format yang terukur. Orang tua, sekolah, Dinas Pendidikan, hingga Kementerian Pendidikan harus berkolaborasi membangun ruang dialog.

‎‎2. Membangun Fondasi di Sekolah

‎Integrasikan pendidikan politik dalam kurikulum berbasis proyek. Siswa diajak menganalisis persoalan di lingkungannya, merancang solusi, hingga menyusun proposal untuk pemerintah daerah. Organisasi pelajar seperti OSIS, IPM, maupun kelompok sejenis perlu didorong untuk aktif menjalankan program sosial dan lingkungan.

‎‎3. Mengoptimalkan Partisipasi Lokal dan Komunitas

‎Sekolah bisa membentuk forum penulis muda yang dibimbing guru atau jurnalis lokal. Artikel opini para pelajar dapat dipublikasikan melalui rubrik khusus di media lokal bertajuk “Suara Pelajar,” sehingga ekspresi mereka tersalurkan secara produktif.

‎‎4. Melindungi dan Mengarahkan

‎Bentuk tim penyuluhan bersama akademisi, psikolog, dan aktivis untuk memberikan edukasi di sekolah. Materinya mencakup hak dan kewajiban warga negara, etika berdemokrasi, serta cara menyampaikan pendapat secara damai.

‎‎Bagi Erik, memberikan ruang aman bagi pelajar untuk menyalurkan aspirasi bukan sekadar soal demokrasi, melainkan investasi jangka panjang. Pelajar yang terbiasa berpikir kritis, bertanggung jawab, dan peduli pada lingkungan sosial akan menjadi modal berharga dalam membangun bangsa yang lebih beradab.

‎‎“Pendidikan tidak boleh hanya mencetak pelajar patuh, tetapi harus melahirkan generasi kritis yang mampu mengambil keputusan rasional. Itu investasi masa depan bangsa,” tegas Erik. (dkd)

 

Tinggalkan Balasan