Denyut Energi dari Plaju: Kilang Tertua Pertamina yang Tak Pernah Padam

(pelitaekspres.com) -‎PALEMBANG-  ‎‎Di tepi Sungai Musi yang tenang, aroma minyak bumi masih tercium samar di udara. Sinar mentari pagi memantul di pipa-pipa baja yang berjejer rapi, sebagian berembun, sebagian beruap hangat. Di antara deru mesin dan gemuruh suara generator, tampak puluhan pekerja berseragam oranye melangkah mantap menuju jantung produksi.

‎‎Mereka adalah para penjaga api dari Kilang Refinery Unit III Plaju Palembang yang merupakan kilang minyak tertua di Indonesia berdiri sejak 1904.

‎‎Lebih dari seratus tahun, tempat ini menjadi saksi perjalanan bangsa: dari masa kolonial Belanda, perang kemerdekaan, hingga era digital yang serba cepat. Dan kini, di tengah arus globalisasi dan tuntutan energi hijau, kilang ini masih tetap menyala tak hanya memproduksi bahan bakar, tapi juga menyalakan harapan akan kemandirian energi Indonesia.

‎‎“Setiap menit, setiap detik, kilang ini bekerja, kami menjaga kilang ini seperti menjaga kehidupan. Karena dari sinilah energi untuk jutaan orang dihasilkan setiap hari.” ujar Siti Fauzia, Area Manager Communication, Relations & CSR RU III Plaju, Rabu (29/10/25)

‎‎Tak berlebihan, dari Plaju inilah Pertamina menyalurkan jutaan liter bahan bakar yang menggerakkan kendaraan, kapal, pabrik, dan rumah tangga di berbagai wilayah Indonesia bagian barat.

‎‎Kilang ini juga menjadi salah satu pusat inovasi terbesar di sektor hilir migas nasional. Di bawah bendera PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) subholding Refining & Petrochemical Pertamina RU III Plaju kini bukan hanya tempat pengolahan minyak mentah, melainkan pusat pengembangan teknologi energi masa depan.

‎‎Salah satu langkah strategis yang kini digenjot oleh Pertamina adalah memperkuat sektor hilir, yakni meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan dari minyak bumi. Tak hanya memproduksi bahan bakar seperti bensin dan solar, Pertamina juga merambah industri petrokimia.

‎‎Setiap tahun, kilang ini memproduksi rata-rata 42.000 ton biji plastik Polypropylene (PP) bahan dasar plastik modern dengan merek dagang Polytam. Produk ini dipasarkan oleh PT Pertamina Petrochemical Trading dan digunakan di berbagai industri nasional: mulai dari kemasan makanan, alat rumah tangga, hingga otomotif dan medis.

‎‎“Polytam adalah kebanggaan kami. Dari Palembang, kami berkontribusi untuk kebutuhan petrokimia nasional. Dan yang lebih penting, ini semua adalah hasil karya anak bangsa,”kata Siti.

‎‎Tak berhenti di sana, Plaju juga mulai memproduksi produk ramah lingkungan bernama Breezon natural refrigerant yang dikembangkan untuk menggantikan freon, pendingin udara yang dikenal merusak ozon.

‎‎Langkah ini menjadi bagian dari strategi besar transisi energi Pertamina menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

‎‎” Kami sadar, masa depan energi tidak lagi bergantung sepenuhnya pada minyak. Karena itu, kami berinovasi. Kami menanamkan kesadaran bahwa bisnis energi harus beriringan dengan tanggung jawab terhadap bumi,” tutur Siti.

‎‎Namun, di balik kesuksesan itu, Pertamina juga menghadapi tantangan besar meningkatkan kapasitas produksi nasional agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada impor bahan bakar.

‎‎Untuk itulah, Pertamina Grup meluncurkan proyek raksasa bernama Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Revamping Kilang Nasional.

‎‎Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengolahan di beberapa kilang besar, termasuk Kilang Balikpapan yang sedang dikembangkan agar mampu memproduksi 360.000 barel per hari, naik dari kapasitas semula 260.000 barel per hari.

‎‎Kilang Plaju juga tengah menyiapkan langkah serupa, memperbarui teknologi dan peralatan agar tetap efisien dan kompetitif di tengah persaingan global.

‎‎“Kilang tua bukan berarti kuno, kami terus melakukan pembaruan agar tetap relevan dan bisa bersaing.” ujar Siti.

‎‎Sejak tahun 2023, Pertamina RU III Plaju memperkenalkan aplikasi E-Workshop 2.0, sebuah sistem digital yang dirancang untuk memantau seluruh proses pemeliharaan alat di kilang.

‎‎Melalui aplikasi ini, teknisi dapat melacak kondisi mesin, jadwal perawatan, hingga histori kerusakan semuanya terintegrasi dalam satu sistem yang bisa diakses secara real time.

‎‎“Dulu, kalau mau tahu kondisi alat, teknisi kami harus datang ke lapangan dan memeriksa satu per satu. Sekarang cukup buka aplikasi, semua data sudah ada,” jelas Siti.

‎‎Baginya, E-Workshop bukan hanya alat kerja, tapi simbol perubahan budaya industri di Pertamina dari manual menuju era digital industri energi 4.0.

‎‎Jika ada satu kebanggaan yang benar-benar menggambarkan semangat kemandirian energi nasional, maka itu adalah Katalis Merah Putih.

‎‎Katalis bahan yang mempercepat reaksi kimia dalam pengolahan minyak selama ini masih didominasi oleh produk impor dari Jerman dan Tiongkok. Namun kini, berkat kolaborasi antara Pertamina Research & Technology Innovation (RTI) dan PT Kilang Pertamina Internasional, Indonesia berhasil mengembangkan katalis buatan sendiri: PK-HGMAX atau Katalis Merah Putih.

‎Produk inovatif ini kini digunakan di Fluid Catalytic Cracking Unit (FCCU) Kilang Plaju. Hasilnya? Proses pengolahan menjadi lebih efisien, biaya lebih rendah, dan tingkat produksi meningkat signifikan.

‎‎” Inovasi ini adalah tonggak penting. Kami membuktikan bahwa teknologi tinggi tidak selalu harus impor,” ujar Siti bangga.

‎‎Selain meningkatkan efisiensi, penggunaan katalis lokal juga berdampak besar terhadap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan menekan defisit perdagangan nasional.

‎‎Langkah ini menjadi bagian dari roadmap kemandirian energi Pertamina, yang menargetkan peningkatan kapasitas teknologi dan produksi lokal di seluruh lini bisnis.

‎‎Dalam dunia yang serba cepat, data adalah kekuatan baru. Pertamina memahami hal ini dengan mendirikan Pertamina Integrated Command Center (PICC) pusat kendali besar yang menghubungkan seluruh unit operasi Pertamina di Indonesia secara digital.

‎‎Dari PICC, setiap aktivitas produksi, distribusi, hingga penjualan bisa dimonitor secara real time.

‎‎Sistem ini menjadi “otak digital” yang mengintegrasikan seluruh subholding, termasuk RU III Plaju, untuk memastikan setiap tetes energi yang diproduksi bergerak dengan aman, efisien, dan transparan.

‎‎“Teknologi digital seperti PICC ini bukan sekadar alat bantu, tapi bagian dari DNA baru Pertamina,” kata Siti.

‎‎Dengan empat fungsi utama integrasi, pemantauan, analisis, dan koordinasi PICC menjadi fondasi bagi lahirnya Pertamina modern: perusahaan energi berbasis data yang siap bersaing di tingkat global.

‎‎Namun, di balik deretan mesin baja, pipa berlapis uap, dan teknologi canggih itu, ada manusia-manusia yang menjadi tulang punggung semua ini.

‎‎Lebih dari seabad setelah pertama kali berdiri, Kilang Plaju kini bukan lagi sekadar peninggalan sejarah. Ia telah menjelma menjadi ikon inovasi dan ketahanan energi nasional.

‎‎Dari pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar, dari Polytam hingga Breezon, dari katalis impor hingga Katalis Merah Putih, dari sistem manual hingga digital semua perjalanan itu menunjukkan satu hal: bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

‎‎Pertamina, lewat Plaju dan seluruh jaringannya, bukan hanya menjaga pasokan energi. Lebih dari itu, mereka menjaga kemandirian, keberlanjutan, dan martabat bangsa.

‎‎”Dan selama pipa-pipa baja di Plaju masih berdiri, selama nyala api masih berkobar di tungku pembakarannya, maka semangat itu akan terus hidup  menyala dari Palembang, menyinari seluruh nusantara,” pungkasnya. (dkd)

Tinggalkan Balasan