Bayi 5 Hari Dijual Rp 8 Juta, Polisi Bongkar Jaringan Perdagangan Manusia di Palembang ‎

(pelitaekspres.com) -PALEMBANG- ‎‎Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Polda Sumsel) mengungkap kasus mengerikan yang mengguncang nurani publik. Seorang bayi yang baru berusia lima hari nyaris menjadi korban perdagangan manusia setelah dijual oleh orang tuanya sendiri seharga Rp 8 juta.

‎‎Kasus ini terkuak berkat laporan masyarakat yang mencurigai adanya transaksi jual beli bayi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bari Palembang. Dari hasil penyelidikan, polisi menangkap empat orang pelaku, termasuk pasangan suami istri yang merupakan orang tua kandung bayi tersebut.

‎‎Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Sumsel, Kombes Pol Yohannes Bangun, S.I.K., menjelaskan, penangkapan dilakukan pada Rabu (22/10/2025) siang oleh Subdit IV Renakta (PPPA) bersama Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumsel di kawasan RS Bari Palembang.

‎‎“Kasus ini berawal dari laporan masyarakat pada Minggu (19/10/2025) tentang dugaan adanya jual beli bayi di rumah sakit. Setelah penyelidikan, kami melakukan penangkapan saat transaksi sedang berlangsung,” ungkap Kombes Yohannes saat konferensi pers, Kamis (23/10).

‎‎Empat orang yang diamankan adalah pasangan FA dan RA (warga Jalan Mayor Zen Palembang), RD (warga Jalan KH Wahid Hasyim Palembang), dan YP, warga Kota Semarang, Jawa Tengah. Keempatnya memiliki peran berbeda dalam jaringan perdagangan bayi tersebut.

‎‎Polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya uang hasil transaksi, empat unit telepon genggam, surat keterangan lahir bayi, serta surat keterangan dokter.

‎‎Penyelidikan mengungkap, kasus ini bermula dari sebuah unggahan di media sosial TikTok. Dalam unggahan tersebut, seorang pria asal Semarang berinisial YS menulis komentar mencari pasangan yang bersedia mengadopsi anak yang akan dilahirkan istrinya.

‎‎Komentar itu kemudian direspons oleh RD, warga Palembang, yang tertarik untuk menengahi proses “adopsi” tersebut. Keduanya lantas menjalin komunikasi intens melalui pesan pribadi dan akhirnya sepakat bahwa bayi tersebut akan “dilepaskan” dengan harga Rp 8 juta.

‎‎Dalam kesepakatan itu, RD juga menanggung biaya akomodasi dan persalinan ibu korban yang diwajibkan dilakukan di Palembang.

‎‎Namun, belakangan terungkap bahwa RD bukanlah calon orang tua angkat, melainkan perantara yang berhubungan dengan pasangan suami istri FA dan RA — dua orang yang ternyata menjadi pemodal utama dalam transaksi ini.

‎‎Dari hasil penyidikan, diketahui FA dan RA sejatinya menerima Rp 25 juta dari calon orang tua angkat yang belum diungkap identitasnya. Namun, uang itu tidak sepenuhnya diterima oleh pasangan tersebut.

‎‎Dari Rp 25 juta itu, Rp 8 juta diserahkan kepada orang tua bayi (YS dan istrinya), Rp 5 juta digunakan RD untuk biaya persalinan dan akomodasi, sementara sisanya menjadi keuntungan perantara.

‎‎“Peran mereka ini sudah jelas terstruktur ada pemodal, perantara, dan orang tua korban sebagai pihak yang menjual,” ujar Kombes Yohannes.

‎‎Dalam pemeriksaan, YS dan istrinya mengaku nekat menjual anak kandung mereka karena tekanan ekonomi yang luar biasa. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap dan penghasilan YS sebagai buruh pabrik serabutan tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

‎‎“Karena faktor ekonomi dan kami belum punya rumah. Penghasilan saya tidak menentu. Kami benar-benar terdesak,” ujar YS dengan wajah tertunduk saat diperiksa penyidik.

‎‎Dirinya mengaku menyesal, namun penyesalan itu datang terlambat. Bayi yang baru berusia lima hari itu hampir berpindah tangan sebelum polisi menggerebek lokasi transaksi. (dkd)

Tinggalkan Balasan