(pelitaekspress.com) – YAPEN – Peserta Rapat Dengar Pendapat dari Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Waropen selama tujuh jam dipelabuhan Biak dikawal Aparat Keamanan.
Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua dengan Masyarakat Adat Wilayah Saireri yang dijadwalkan berlangsung dari tanggal 18 dan 19 November 2020 di Biak menuai Protes dan Demo oleh Kelompok Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Daerah Biak Numfor yang menolak untuk tidak dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat bentukan MRP dilaksanakan di Kabupaten Biak Numfor.
Jhon Arampayai salah satu peserta RDP dari Kepulauan Yapen Komponen Pemuda Suku Wondei Wondau Wonawa ( W3 ) kepada Wartawan PelitaEkspress mengatakan, Rapat Dengar Pendapat yang dilaksanakan oleh Majelis Rakyat Papua di 7 Wilayah Adat Provinsi Papua adalah melaksanakan Amanat UU Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otnomi Khusus bagi Provinsi Papua Bab 24 pasal 77.
Sangat disayangkan masih ada Kelompok Orang Papua dan Pejabat Papua di Kabupaten Biak Numfor yang menolak pelaksanaan RDP dan meminta untuk MRP dibubarkan. Sedangkan Demo yang digelar oleh sekelompok orang yang mengatas namakan Tokoh Masyarakat Adat Biak Numfor menurut Jhon Arampayai yang lebih dikenal dengan Jono adalah Kelompok Setingan pihak tertentu yang tidak menginginkan Rapat Dengar Pendapat MRP dengan Masyarakat Adat Papua Wilayah Saireri dilaksanakan, sementara bagian lain Covid 19 alias Corona menjadi alasan untuk tidak ada pertemuan atau RDP tidak dilakasanakan.
Hal lain yang rancu adalah salah satu Pejabat dari Jajaran FORKOPIMDA Biak Numfor yang berkesempatan menemui peserta Rapat Dengar Pendapat dari Yapen dan Waropen mengatakan Rapat Dengar Pendapat dengan MRP tidak perlu dilaksanakan sehubungan hal – hal yang menyangkut UU 21 Otonomi Khusus telah disampaikan oleh Para Bupati dari Wilayah Adat Tabi Saireri ketika pertemuan di Japyapura medio September 2020 di Hotel Sentani Indah Jayapura dan hasilnya telah di presentasikan oleh Ketua Tim Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen di Jakarta.
Jhon Arampayai mengatakan, bila merujuk kepada pasal 77 UU 21 Tahun 2001 bahwa, Usul Perubahan Undang Undang ini dapat diajukan oleh Rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menghadirkan pertanyaan kepada para Bupati, usul perubahan UU dari Rakyat yang mana yang diakomodir oleh para Bupati selaku Pemerintah dan dipresentasikan kepada Pemerintah. Sementara di Kabupaten Kepulauan Yapen sejak bergulirnya UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sampai dengan hari ini dibulan November 2020 tidak pernah dilaksanakan kegitan dalam bentuk Sosialisasi tentang isi dari Buku UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provnsi Papua kepada Masyarakat Adat di tujuh Suku di Pulau Yapen yang mereka dengar ada Uang Otsus tapi bentuknya tidak tau seperti apa.
Jono Arampayai, Menyinggung kehadirannya sebagai peserta Rapat Dengar Pendapat dengan MRP bersama 13 teman lainnya bahwa kehadiran mereka berdasarkan Undangan dan Daftar Nama sebagai peserta yang dikeluarkan oleh MRP. Sedangkan kehadirannya telah mengantongi aspirasi masyarakat adat Papua yang belum ada keberpihakan dalam Amanat UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus secara keseluruhan, maka terkait UU 21 perlu di Revisi dan ditambahkan seperti Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf n tentang Hak Asasi Manusia (HAM ) dan Bab XII pasal 45 berikut tentang Hak Politik Orang Asli Papua yang dirampas harus dikembalikan kepada OAP agar mereka atau Rakyat Papua menjadi tuan diatas Tanahnya, bukan sebaliknya Orang Papua menjadi Pengemis disemua sektor baik dalam jabatan Politik maupun Birokrasi. Apabila bagian ini tidak dilaksanakan oleh Negara Kepada Tanah dan Orang Papua, apalah artinya Negara memberikan UU 21 Tahun 2001 kepada Provinsi Papua dan Orang Papua dalam Teori sedangkan prakteknya dilakukan oleh Negara Republik Indonesia sendiri yang tidak berpihak kepada pemilik undang undang, sehinga yang dirasakan saat ini Orang Asli Papua masih dijajah oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia. Inilah bagian-bagian yang menjadi tuntutan karena Kami belum Meredeka dalam Hidup dan Kehidupan setiap orang Papua diatas tanah dan rumahnya sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.
Pemuda Suku Yawa Onate Esau Semboari alias Munturi bahwa tuntutan Merdeka yang selalu diteriakan oleh Orang Papua adalah Kemerdekaan dalam UU 21 Tahun 2001 sesungguhnya belum rakyat nikmati serta menyentuh sendi kehidupan orang Papua di Pulau Yapen dan Papua secara keseluruhan, demikian disampaikan langsung kepada wartawan media pelitaekspress.com Sabtu, 21 November 2020 di mantembu Yapen. (rls)

