Adakah Pelangi Dibalik Pandemi ?

(pelitaekspres.com) – Qadarullah, mahluk kecil yang tak terlihat oleh mata telanjang itu hadir dan memporak- porandakan hampir semua lini kehidupan.

Ya, virus Covid-19 menjadi momok yang sangat menakutkan seluruh rakyat negeri ini, bahkan  seluruh manusia di dunia. Begitu banyak peristiwa yang terjadi akibat adanya pandemi ini. Peristiwa-peristiwa yang sebelumnya bahkan tak pernah kita bayangkan.

Bidang pendidikan adalah satu di antara banyak hal yang terkena imbasnya. Kurikulum yang sudah tersusun rapi seakan tak berarti.

Bukan hanya tak relevan, tapi juga menjadi sulit untuk dilaksanakan dalam situasi seperti ini. Bayangkan ketika sekolah tertutup untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka antara guru dan murid, bagaimana mungkin materi-materi yang kompleks itu bisa dikuasai oleh siswa tanpa tatap muka? Sedangkan melalui tatap muka selama ini saja, masih banyak siswa yang tak mampu menguasai materi yang diberikan guru.

Santri- santri pondok pesantren juga terpaksa harus dipulangkan. Pesantren ditutup. Lalu semua pembelajaran harus berganti dengan daring (dalam jaringan)  saat itu juga. Guru-guru yang selama ini terlanjur nyaman dengan keterbatasannya dalam bidang IT, menjadi galau karenanya. Apalagi sekolah-sekolah di perkampungan/pedalaman yang jauh dari akses internet. Belum lagi guru-guru lanjut usia yang kurang menguasai IT. Secara tiba-tiba semua harus membiasakan diri mengajar secara online. Itu semua baru dari sisi guru. Belum lagi dari sisi sarana prasarana sekolah, dari sisi siswa, dan dari sisi orang tua siswa tentu saja.

Tetapi seringkali kita melupakan, bahwa seberat apapun musibah pasti ada hikmah di baliknya. Bisa jadi kecil saja, bisa besar, bisa pula sangat besar, tergantung dari sudut mana kita menilainya. Sebagai insan beragama, alangkah bijaknya bila kita mensukuri segala sesuatu dengan cara mampu mengambil hikmah sebanyak-banyaknya, bahkan dari sebuah musibah terburuk. Lalu, apa sajakah hikmah di balik pandemi ini?

Satu hal di antara “pelangi” di balik badai Covid-19, yaitu tumbuhnya kesadaran para guru untuk meningkatkan ketrampilannya dalam bidang IT.

Mau tidak mau guru harus berusaha sebisa mungkin untuk mampu menyusun bahan ajar yang praktis dan menarik serta relevan dengan kondisi yang ada saat ini. Paling tidak para guru harus bisa mengoperasikan laptop dan gadget sesuai kebutuhan terkait kegiatan belajar mengajar daring. Maka sekolah-sekolah segera berlomba mengadakan pelatihan IT bagi guru-gurunya. Demikian juga dinas-dinas terkait.  Hal ini tentu saja membuat guru semakin terampil. Para guru menjadi lebih melek teknologi. Mereka menjadi bertambah kompeten dan menguasai berbagai aplikasi dan bahan pembelajaran online, seperti membuat video pembelajaran, aplikasi zoom meeting, google class, dan lain-lain.

Pelangi kedua adalah meningkatnya aspek spiritualis pada hampir semua orang. Dengan kondisi yang tidak menentu dan bahkan sangat buruk bagi banyak orang ini, akan mendorong naluri manusia untuk  mendekat kepada Tuhan. Memohon pertolongan dan perlindungan. Orang-orang yang terpaksa dirumahkan dari tempat kerja, pekerja-pekerja sektor pariwisata yang ditutup, pedagang-pedagang yang kehilangan pembeli, industri-industri yang menghentikan operasionalnya  dan masih banyak lagi. Mereka pada akhirnya akan terdorong untuk lebih meningkatkan sisi religius mereka.

Lebih mendekatkan diri mereka  kepada Tuhan. Apalagi dengan begitu terbatasnya pilihan yang ada, semakin membuat mereka untuk tawakal sembari memohon pada Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka akan lebih giat beribadah. Semangat spiritualitas mereka bertambah. Dengan demikian aspek spiritualis sebagai salah satu aspek pendidikan otomatis meningkat. Memang tak semuanya demikian. Tapi bisa dipastikan terjadi peningkatan dari aspek spiritualis ini. Bahkan cukup banyak.

Selama ini, banyak dari kita yang cenderung menyerahkan urusan pendidikan anak-anak kita sepenuhnya kepada lembaga pendidikan.

Kita berani membayar mahal demi keberhasilan pendidikan anak-anak kita. Tetapi kita seringkali lupa bahwa pendidikan anak-anak sebenarnya adalah tanggung jawab orang tua. Sangat tak bijak menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada lembaga pendidikan. Apalagi dengan sistem pendidikan boarding/pondok pesantren yang memungkinkan orang tua untuk menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya selama 24 jam full pengasuhan dan pendidikan anak- anak.

Pondok pesantren, suatu lembaga pendidikan yang selama ini dapat diandalkan para orang tua. Orang tua telanjur merasa nyaman dengan sistem pendidikan model boarding ini. Lalu tiba-tiba saja para santri dipulangkan dan mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah serta kegiatan rutin harian  pondok pesantren secara online. Mau tidak mau orang tua harus mengawasi, mendampingi, dan memfasilitasi mereka. Nah, di sinilah letak pelangi itu sebenarnya.

Ketika orang tua menjadi “rela” mendampingi anak-anaknya. Entah bagaimana caranya dan bagaimana teknis pembagian waktunya, pada akhirnya orang tua berusaha menyisihkan waktu untuk mendampingi anak-anaknya dalam proses pengasuhan dan pendidikan secara lebih intens. Mau tidak mau orang tua juga ikut belajar. Ikut menambah ilmu pengetahuan. Menyempatkan diri membaca buku. Indah bukan? Indah tentu saja, asal kita melihatnya dari sudut yang tepat.

Orang tua yang memiliki anak-anak di pondok pesantren tak kalah repotnya. Mereka harus mengawasi KBM sekolah, juga memastikan kegiatan harian anak seperti jadwal harian di pondok. Di sinilah orang tua dituntut untuk mampu dan mau berperan layaknya pendamping santri.

Tak pelak orang tua juga harus memberi teladan harian sebagaimana ustad dan ustadzahnya di pondok. Misalnya melaksanakan qiyamullail, puasa Senin Kamis, dzikir pagi sore, sholat  tepat waktu, tadarus, bahkan mendukung saat hafalan, seperti menerima setoran hafalan. Dengan semua tuntutan itu, mau tidak mau orang tua akan berusaha meningkatkan kompetensi dirinya. Orang tua juga akan berusaha menjadi teladan bagi anak-anaknya. Coba bayangkan ketika banyak orang tua baik secara sukarela maupun secara terpaksa berusaha berperan sebagai guru/pengasuh seperti di pondok pesantren. Tentu anak-anak akan lebih mudah meneladani, karena orang tua mampu berperan sebagai role model bagi anak-anaknya.

Ada satu pelangi lagi yang mungkin paling indah. Ialah ketika anak-anak merasakan “kehadiran” orang tua secara nyata. Nyata ada, nyata mendampingi, nyata membimbing, nyata mendidik. Inilah pelangi terindah yang bersembunyi di balik badai pandemi. Berapa juta saja anak-anak yang “menemukan” kembali orang tua mereka, terutama sosok ibu.

Betapa banyak pula orang tua yang secara suka rela atau bahkan terpaksa, menjadi oase bagi rasa haus anak-anaknya akan “kehadiran” orang tua. Sebagian orang tua menikmatinya, sebagian yang lain mungkin berusaha menikmati kebersamaan itu meski dengan kondisi yang terbatas dan berbeda antara satu dengan lainnya.

Inti dari semua ini adalah selalu ada kebaikan di balik setiap qadar yang Tuhan tetapkan. Ada banyak pembelajaran di balik setiap peristiwa. Tergantung dari diri kita, mau dan mampukah mengambil ibrah dari padanya. Bisa atau tidakkah kita mengambil pembelajaran dari padanya. Firman Allah SWT : Inna ma’al usri yusroo. “Sesungguhnya ada kemudahan di setiap kesulitan.”

Jadi jelaslah bahwa sesungguhnya banyak sekali pembelajaran yang bisa kita petik dari pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya. Yakinlah bahwa tiada kesulitan yang abadi. Selalu ada solusi dari setiap masalah. Wallahu alam bishowab. (Nurbaeni, Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasakti Tegal)

Tinggalkan Balasan