(pelitaekspres.com) – BANDARLAMPUNG- Apa itu perdagangan karbon?

Menurut Cambridge Dictionary, emisi adalah sejumlah gas, panas, cahaya, yang dikirimkan keluar. Konsep perdagangan karbon sebenarnya mirip dengan konsep jual beli pada umumnya. Komoditas yang diperjualbelikan adalah emisi karbon. Tiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon akan diberikan kuota tertentu. Jika produksi emisi karbon melebihi kuota tersebut, maka perusahaan dapat membeli credit pada perusahaan lain yang masih memiliki kuota. Jejak karbon berasal dari jejak ekologis yang merupakan ukuran dampak terhadap lingkungan yang dibutuhkan untuk mempertahankan SDA. Emisi karbon juga disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil pada manufaktur, pemanasan, transportasi, serta emisi yang diperlukan untuk menghasilkan listrik untuk keperluan barang dan jasa yang dikonsumsi. Lalu, emisi karbon seperti apa yang bisa diperdagangkan? Hingga saat ini, yang telah disepakati adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), hidrofluorokarbon (HFCs), nitrat oksida (N2O), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Berdasarkan data Kementrian ESDM tahun 2021, potensi nilai ekonomi emisi karbon dihargai kurang lebih 70 dolar per ton. Hal ini menjadi dasar bahwa perdagangan karbon penting untuk dicermati bersama.

Bagaimana Indonesia mengambil peran?

Tahun 2021, Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap isu perubahan iklim yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Dalam Perpres tersebut perdagangan karbon dapat dilakukan baik dalam pasar dalam negeri maupun pada pasar luar negeri, demikian pula perdagangan karbon dapat melalui mekanisme perdagangan mandatori dan voluntary. Pada sesi G20 di Roma indonesia menyatakan sikap keinginan G20 menjadi contoh dan memimpin dunia dalam bekerja sama mengatasi perubahan iklim secara berkelanjutan dengan tindakan nyata, sebagai tuan rumah G20 pada tahun ini tentu Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar di dunia sangat berpeluang besar dalam menyuarakan dan mengajak banyak negara untuk dapat melakukan hal hal yang lebih kongkrit dalam menangani masalah perubahan iklim ini. Bahkan saat ini Indonesia telah menargetkan net sink carbon untuk sektor lahan dan hutan paling lama pada tahun 2030 dan net zero pada tahun 2060, bahkan kini pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan merupakan kawasan pengembangan net zero hal ini juga sejalan dengan ucapan Pak Presiden pada G20 di Roma, Italia saat itu.

Namun, tidak cukup dengan menerbitkan aturan dan kebijakan kebijakan tersebut, saat ini dibutuhkan regulasi turunan mengenai carbon pricing yang mendukung pemenuhan komitmen target nasional. Carbon pricing diperlukan untuk menghindari dampak buruk dari pemanasan global karena saat ini tarif carbon tax dinilai kurang efektif untuk mengatasi pemanasan global. Dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024. Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Upaya adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi karbon melalui peningkatan efisiensi energi dan perubahan life style dan kebiasaan membeli. Penggunaan sumber energi terbarukan dan pengalihan ke transportasi umum dapat berdampak pada jejak karbon primer.

Akankah perdagangan karbon menjadi solusi untuk pemanasan global?

Emisi karbon menjadi kontributor perubahan iklim bersama dengan emisi gas rumah kaca. PBB juga pernah menyatakan bahwa kadar emisi CO2 di tahun 2019 mencapai 37 miliar ton, meningkat sebesar 0,6% dari data sebelumnya. Salah satu dampaknya yaitu peningkatan suhu 1,5 oC dapat berpengaruh pada perubahan lingkungan yang permanen seperti naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrim higga berkurangnya es di laut arktik. World Health Organization (WHO) menemukan fakta bahwa sembilan dari sepuluh orang saat ini menghirup udara dengan tingkat polutan yang tinggi. Akibatnya krisis kesehatan global terus meningkat dan sekitar 7 juta orang pertahun di seluruh Dunia harus kehilangan nyawanya karena polusi udara. Menurut WHO, polusi udara merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan berbagai penyakit diantaranya stroke, kanker paru-paru, penyakit jantung dan infeksi pernapasan. Selain itu pemerintah juga memiliki peran dalam upaya pengawasan perdagangan karbon baik dalam ataupun luar negeri dengan memberikan pembatasan kuota perdagangan karbon dan seluruh aspek perizinan yang diperlukan dalam perdagangan karbon. Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang. Masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam hal perdagangan karbon saat ini adalah aspek perizinan. Pemerintah Indonesia sedang menerapkan sistem  perizinan dengan sistem OSS-RBA yang diharapkan menciptakan sistem pemerintahan yang transparan. Namun sistem OSS-RBA dinilai belum efektif karena belum berjalan sebagaimana fungsinya. Perizinan dalam bidang usaha perdagangan karbon dalam UU Cipta Kerja disebut dengan perizinan berusaha pengusahaan hutan (izin PBPH). Izin PBPH secara yang seharusnya dilakukan dengan sistem OSS-RBA, namun di beberapa daerah masih dilakukan manual sehingga perlu adanya pemerataan informasi dan dorongan penggunaannya sehingga sistem OSS-RBA dapat digunakan oleh diseluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Permasalahan lain yang harus menjadi fokus pemerintah dalam menangani perdagangan karbon adalah belum terdapat regulasi yang menjelaskan tentang aturan teknis perdagangan karbon. Aturan teknis perdagangan karbon ini merupakan regulasi turunan yang bersifat mendesak untuk segera diundangkan. Ketidakpastian hukum berdampak terhadap gangguan berusaha. Selain itu perdaganagan karbon masih terhambat disebabkan oleh adanya Surat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup nomor S.789/MENLHK-PHPL/KPHP/HPL.0.05/2021 yang memerintahkan penundaan perdanagan karbon hingga terbit aturan teknis mengenai hal tersbeut. Apabila sudah terdapat kepastian hukum tentang Teknis Perdagangan Karbon ini, maka  akan berpengaruh terhadap investasi dan pemasukan negara dari perdagangan karbon sehingga perdanganan karbon tidak hanya menjadi wacana saja. Percepatan regulasi hukum tentang perdagangan karbon dan sistem perizinan sangat berpengaruh terhadap upaya realisasi perdangangan karbon, sehingga kedua aspek ini diharapkan segera dilaksanakan. Setelah terjadi penundaan penerapan pajak karbon oleh pemerintah yang semula dijadwalkan pada 1 April 2022  kini pemerintah berencana untuk memulai penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022 secara bertahap, yang pertama kali akan mencobanya yaitu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan rencana nilai pajak Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Instrumen regulasinya telah disiapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target yang Ditetapkan secara Nasional  dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional yang diterbitkan pada tanggal yang sama, yakni 29 Oktober 2021.

Pro kontra terhadap pajak karbon ini menjadi perdebatan di banyak pihak, terutama industri yang menentangnya. Ada banyak spekulasi, dugaan, dan berbagai prasangka, perihal apa dan bagaimana pajak karbon ini beroperasi. Narasi-narasi seperti pajak karbon akan meningkatkan biaya produksi, mengurangi daya saing Indonesia, yang seakan menjadi monster baru dalam sistem perpajakan. Pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan transisi yang tepat dengan momentum pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi. Hal ini bertujuan agar penerapan pajak dapat memenuhi asas keadilan (just) dan terjangkau (affordable) serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat. Carbon tax tentu akan menjadi solusi yang dapat menekan para pelaku industri dalam mengurangi karbon yang dihasilkan dari usaha mereka. Pelaku industri akan terpacu untuk mengganti teknologi mereka sehingga harapannya hal ini dapat menekan karbon yang dihasilkan, namun hal ini akan menjadi ilusi semata jika pemerintah masih tebang pilih dalam penerapan dan tanpa pengawasan di lapangan. (Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Unila: Afifah Nisa, Dwi Aji, Andrie Efendi, Handinie Galuh dan Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan Unila: Prof. Christine Wulandari)