(pelitaekspres.com) –BANDARLAMPUNG- Transformasi sistem demokrasi merupakan proses yang berlangsung dalam jangka panjang dan melibatkan berbagai faktor, seperti perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Setidaknya ada tiga pendekatan yang digunakan dalam teori transformasi sistem demokrasi, yaitu pendekatan evolusi, pendekatan revolusi, dan pendekatan transisi.

Pertama, pendekatan evolusi menyatakan bahwa proses transformasi sistem demokrasi adalah proses yang berlangsung secara perlahan dan bertahap, melalui perubahan-perubahan dalam sistem politik yang ada.

Kedua, pendekatan revolusi menyatakan bahwa proses transformasi sistem demokrasi adalah proses yang berlangsung secara cepat dan radikal, melalui perubahan-perubahan yang signifikan dalam sistem politik yang ada.

Ketiga, pendekatan transisi menyatakan bahwa proses transformasi sistem demokrasi adalah proses yang berlangsung melalui serangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem politik yang ada, yang dapat berlangsung secara cepat atau perlahan, serta melibatkan berbagai faktor internal dan eksternal. Pendekatan terakhir dari transformasi sistem demokrasi di atas adalah apa yang saat ini Indonesia akan hadapi di tahun politik 2024.

Transisi sistem demokrasi Indonesia dimulai ketika proses reformasi yang mengakhiri rezim otoriter yang berlangsung selama 32 tahun pada tahun 1998, dimana Indonesia mengadopsi sistem demokrasi presidensial.

Namun, pada tahun 2001, dengan dukungan dari DPR, presiden Abdurrahman Wahid digulingkan dan digantikan oleh Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih melalui pemilu yang diadakan secara langsung.

Pada tahun 2014, Joko Widodo dipilih sebagai Presiden Indonesia dan di pilih kembali pada tahun 2019, dan hingga saat ini Indonesia masih menganut sistem demokrasi presidensial.

Pemilu Serentak 2024 sudah di depan mata. Firman Wijaya (Anggota Bawaslu Kota Bogor) berpendapat dalam tulisannya yang berjudul ”Pemilu 2024; Obsesi Pemilu Demokratis dan “Endgame” Transisi Demokrasi” bahwa Pemilu 2024 bisa menjadi momentum politik untuk mengakhiri (endgame) fase transisi menuju konsolidasi demokrasi, sehingga penyelenggaraan Pemilu 2024 harus benar-benar luber dan jurdil serta memenuhi parameter demokratis.

Namun disisi lain, kebijakan pelaksanaan kontestasi 5 tahunan ini berkemungkinan memiliki dampak makro ekonomi dan politik secara signifikan.

Pertama Pemborosan dana: Pemilihan serentak akan menghabiskan dana yang cukup besar, baik untuk logistik maupun kampanye politik. Anggaran KPU untuk menyelenggarakan Pemilu Serentak 2024 telah disepakati bersama DPR sebesar 76,6 triliun rupiah atau 2,5% dari total PDB tahun 2022.

Anggaran fantastis ini bahkan 3 kali lipat dari total realisasi dana penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Hal ini dapat mengurangi dana yang tersedia untuk pembangunan ekonomi dan pengembangan infrastruktur.

Kedua Inflasi: Pemilihan serentak dapat menyebabkan inflasi karena meningkatnya harga barang dan jasa yang digunakan dalam pemilihan. Pemilu seringkali diiringi dengan pembelanjaan yang lebih besar dari pemerintah untuk mendukung kampanye politik, yang dapat meningkatkan permintaan dan harga barang dan jasa. Kemudian, Pemilu juga dapat menyebabkan spekulasi harga dari beberapa pelaku pasar, yang dapat meningkatkan harga barang dan jasa dan seringkali diiringi dengan ketidakpastian ekonomi, yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi.

Ketiga, Dampak pada pasar modal: Pemilihan serentak dapat mempengaruhi pasar modal karena investor baik dalam maupun luar negeri mungkin cenderung menunggu hasil pemilu sebelum melakukan investasi. Hal ini menyebabkan tingkat volatilitas harga saham yang tinggi dan bahkan pemilu juga cenderung akan menimbulkan ketidakpastian politik, yang dapat mempengaruhi kepercayaan investor dan mengurangi minat investasi.

Keempat, Dampak pada kestabilan politik: Pemilihan serentak dapat mempengaruhi kestabilan politik, karena pemilihan serentak dapat menimbulkan konflik politik antar daerah. Lebih lanjut, hasil pemilu yang tidak pasti dan perubahan kekuasaan dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, sehingga akan menimbulkan konflik politik jika da kecurangan atau ketidakpuasan terhadap hasil pemilu.

Untuk itu, penulis mencoba mengelaborasi agar dampak makro ekonomi politik dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 dapat diminimalisir melalui berbagai langkah strategis dari pihak penyelenggara (KPU), pemerintah, dan pihak terkait lainnya.

Pertama, Pengendalian pemborosan dana: Pemerintah dapat mengendalikan pemborosan dana dengan menetapkan batasan anggaran yang jelas untuk pemilihan serentak dan memonitoring pengeluaran yang dilakukan dengan menerapkan azas efektivitas dan efisiensi penggunaan dana secara lebih transparan.

Kedua, Pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengendalikan inflasi dengan mengendalikan harga barang dan jasa yang digunakan dalam pemilihan. Selain itu, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengatasi potensi kenaikan inflasi, seperti mengejar kebijakan fiskal yang ketat, menjaga tingkat suku bunga tetap stabil, dan mengawasi aktivitas spekulatif di pasar.

Ketiga, Pemerintah dapat mengambil tindakan untuk menstabilkan pasar modal dengan menjamin kestabilan politik dan ekonomi dan memberikan insentif perusahaan agar tetap berinvestasi di Indonesia, serta memberikan kepastian hukum dan perlindungan asing investor.

Keempat, Pemerintah dan pihak yang berwenang dapat mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan politik, seperti dengan menjaga transparansi pemilu dengan menyediakan informasi yang cukup dan menjamin perlakuan yang adil bagi semua pihak, menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua partai politik, dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi konflik yang mungkin timbul.

Sebagai tambahan, KPU sebagai organ vital dalam proses penyelenggaraan Pemilu harus dapat memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk mempermudah proses pemilu serentak; melakukan sosialisasi yang cukup untuk menjelaskan proses pemilu serentak kepada masyarakat; menegakkan hukum dengan tegas terhadap tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan pemilu serentak; menjamin transparansi dalam proses pemilu serentak dengan menyediakan informasi yang cukup dan menjamin perlakuan yang adil bagi semua pihak; memberikan pelatihan, sosialisasi, dan edukasi yang cukup kepada petugas pemungutan suara, agar dapat menjalankan tugas dengan baik; membuat sistem yang efektif untuk menangani dan mengklarifikasi aduan yang masuk dari masyarakat; serta membuat mekanisme untuk mengungkap dan menangani tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan pemilu.

Dengan demikian, jaminan perlakuan yang adil bagi semua pihak serta pembuatan regulasi dan peraturan yang jelas mengenai pemilu serentak diharapkan dapat memberikan output yang optimal sesuai dengan harapan bangsa agar proses transisi demokrasi bangsa Indonesia dapat bertransformasi menjadi konsolidasi demokrasi sehingga stabilitas ekonomi makro dapat terjaga. Wallahu’alam bis shawab.